Prosesi ritual yang megah dan mewah sesungguhnya bukan sesuatu hal yang aneh di Puri Ubud. Bahkan, telah pula menjadi suatu ciri tersendiri. Memang, antara puri dan warga di desa-desa yang menjadi inti atau pun pinggiran Ubud telah terbangun hubungan yang ‘’saling menguntungkan’’. Ketika puri melaksanakan suatu ritual tertentu, warga di desa-desa itu dengan rela ngayah, sebaliknya ketika desa-desa itu melaksanakan suatu ritual atau membangun pura, pihak puri pun datang dan sering tanpa ragu-ragu memberikan bantuan dana. Inilah yang menyebabkan eksistensi Puri Ubud terasa jauh masih lebih terpelihara dibandingkan puri-puri lainnya di Bali dalam masa modern dengan ciri budaya egaliternya.
Ida Anak Agung Gde
Agung dari Puri Agung Gianyar dalam buku memoarnya yang berjudul, Kenangan
Masa Lampau Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di
Bali (1993) mencatat kemewahan dan kemegahan sudah sejak lama menjadi
ciri Puri Ubud. Putra raja Gianyar yang juga cucu Cokorda Gde Sukawati,
punggawa Ubud ini mengungkapkan ibunya yang kerap menceritakan segala kehidupan
di Puri Ubud yang penuh kemewahan. Pesta pernikahan antara ibu dan ayahnya yang
juga raja Gianyar, Ida Anak Agung Ngurah Agung yang dilaksanakan ketika Cokorda
Gde Sukawati masih hidup digambarkan berlangsung sangat meriah sehingga sering
menjadi bahan perbincangan orang.
Cokorda Gde Sukawati
yang pada masa itu menjadi panglima perang tangguh kerajaan Gianyar dalam
pemerintahan Dewa Manggis VII memang dikenal sebagai salah seorang yang terkaya
di Bali. Kedudukan dan peranannya pun sangat menonjol dalam perkembangan
politik di Bali Selatan pada paruh kedua abad XIX tatkala berhasil memenangi
perang dengan pasukan Tabanan, Bangli, Negara bahkan Klungkung.
Sejatinya, ritual adat
dan agama yang megah-mewah dan kolosal dengan mengerahkan ribuan orang serta
biaya yang tidak sedikit memang menjadi salah satu penanda eksistensi puri-puri
di Bali termasuk Puri Ubud. Ini sudah berlangsung sejak dulu. Antropolog
Clifford Geertz dalam buku spektakulernya berjudul Negara Teater :
Kerajaan-kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas menyebut Bali pada
abad XIX itu sebagai sebuah negara teater. Ritual nan megah dan mewah menjadi
salah satu daya gerak perpolitikan puri. Raja-raja dan para pangeran disebut
Geertz sebagai impresario-impresario, para pendeta sebagai sutradara serta para
petani sebagai aktor pendukung, penata panggung termasuk penonton. Semua itu,
berlangsung dalam suasana yang megah dan mewah. Bahkan, Geertz menyatakan,
ritual-ritual itulah menjadi tujuan dari sebuah negara bukan alat semata-mata.
Kini, kendati pun puri sudah kehilangan dominasi dalam kekuasaan formal, ritual-ritual megah dan mewah masih terjadi di puri. Justru, melalui inilah puri menunjukkan eksistensinya. Di sisi lain, yang turut membuat segala ritual besar itu tetap terpelihara karena masyarakat di lingkungan puri sendiri masih “setia” menjaga hubungan dengan puri yang ditunjukkan dengan kerelaan mendukung dan menyukseskan pelaksanaan ritual tersebut.
Kini, kendati pun puri sudah kehilangan dominasi dalam kekuasaan formal, ritual-ritual megah dan mewah masih terjadi di puri. Justru, melalui inilah puri menunjukkan eksistensinya. Di sisi lain, yang turut membuat segala ritual besar itu tetap terpelihara karena masyarakat di lingkungan puri sendiri masih “setia” menjaga hubungan dengan puri yang ditunjukkan dengan kerelaan mendukung dan menyukseskan pelaksanaan ritual tersebut.
Hal inilah sebagai
sebuah indikator tentang betapa masih berpengaruhnya puri dalam dinamika
kultural, termasuk juga politik di Bali. Karenanya, menjadi mudah dipahami
mengapa para elite-elite politik pusat kerap menggaet puri sebagai sarana
merengkuh dukungan luas dari masyarakat Bali. Puri di Bali memang masih menjadi
patron, masih menjadi kiblat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar