PECALANG mulai
mengundang perhatian orang tatkala pelaksanaan Kongres Partai Demokrasi
Indonesia pro-Mega di Sanur tahun 1998 silam. Dalam kongres tersebut, pecalang
diberikan tugas menjaga keamanan agar pelaksanaan kongres bisa aman, tertib dan
lancar. Benar memang, kongres berjalan lancar, aman dan tertib seperti yang
diharapkan. Banyak orang pun kagum dengan pecalang. Pasalnya, di tengah-tengah
massa yang emosi, pecalang bisa meredakannya. Dengan bahasa Bali yang halus,
pecalang bisa membuat massa menjadi lebih tenang dan tertib.
Sejak saat itu, pecalang dipuji-puji. Banyak desa-desa adat yang membentuk pecalang. Jika dulu pecalang hanya bertugas menjaga pelaksanaan upacara adat dan agama di desa adat, belakangan pecalang mendapat tambahan tugas menjaga setiap kegiatan yang berkaitan dengan adat dan budaya Bali.
Sejak saat itu, pecalang dipuji-puji. Banyak desa-desa adat yang membentuk pecalang. Jika dulu pecalang hanya bertugas menjaga pelaksanaan upacara adat dan agama di desa adat, belakangan pecalang mendapat tambahan tugas menjaga setiap kegiatan yang berkaitan dengan adat dan budaya Bali.
Hingga kini,
perdebatan mengenai perilaku pecalang ketika melaksanakan tugasnya masih
terjadi. Apalagi ditemukan adanya satuan tugas partai politik (satgas parpol)
yang juga menggunakan pakaian pecalang. Begitu juga tukang parkir di beberapa
tempat juga menggunakan pakaian pecalang.
Kondisi semacam ini
memunculkan pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. Pecalang dirasakan mulai menyimpang
dari sasana (tugas pokok dan fungsi)-nya. Pecalang pun diharapkan bisa kembali
kepada tugas pokok dan fungsi awalnya yakni menjadi "polisi" adat dan
agama.
Menurut Bendesa Desa
Adat Kerobokan, Badung, AA Kompyang Sutedja, pecalang dibentuk sejatinya untuk
membantu kelancaran, keamanan dan ketertiban pelaksanaan yadnya di desa adat.
Selain itu, pecalang juga membantu prajuru bagian palemahan mewujudkan
ketenteraman dan ketertiban di wilayah desa adat.
"Yang paling
penting, pecalang ngayah di wilayah desa serta berdasarkan perintah dari
bendesa adat. Pecalang tidak boleh melaksanakan tugas melewati wilayah desa
adat serta tanpa perintah dari bendesa adat," kata Kompyang Sutedja.
Di Desa Adat Legian
juga tidak jauh berbeda. Di desa wisata yang tersohor itu, pecalang juga
dimanfaatkan ketika ada upacara di desa. Di luar kepentingan itu, pecalang
tidak diperkenankan untuk dimanfaatkan.
"Kalau ada
undangan untuk menurunkan pecalang, meskipun untuk kegiatan yang berhubungan
dengan adat, agama dan budaya, tetapi berada di luar wilayah desa adat, mohon
maaf, kami tidak bisa memenuhi karena itu di luar tugas pokok, fungsi dan
tanggung jawab pecalang," kata Bendesa Adat Legian, Wayan Widana.
Menurut Widana,
pecalang sudah memiliki uger-uger (ketentuan-ketentuan) yang disepakati dan
dihormati seluruh krama desa adat yang dituangkan melalui awig-awig.
Ketentuan-ketentuan itu mesti dipegang teguh agar tidak menimbulkan persoalan
kelak di kemudian hari.
"Kalau pengamanan
umum kan sudah ada polisi maupun aparat keamanan lainnya. Pembagian
tugas-tugasnya sudah jelas sehingga mesti dijaga oleh semua pihak," kata
Widana.
Apa yang dikemukakan
Wayan Widana benar adanya, memang. Bendesa adat sebagai pimpinan puncak di desa
adat mesti teguh dan tegas dengan ketentuan-ketentuan mengenai tugas pokok,
fungsi dan tanggung jawab pecalang. Bendesa adat mesti bersikap tegas jika ada
yang memanfaatkan pecalang untuk kepentingan lain yang tidak ada hubungan sama
sekali dengan kegiatan adat, agama dan budaya.
Mantan Bendesa Desa
Adat Kuta, I Made Wendra mengungkapkan kini banyak godaan terhadap pecalang.
Pasalnya, pecalang dirasakan cukup mataksu, berwibawa dan berpengaruh.
Karenanya, banyak yang ingin memanfaatkan pecalang untuk kepentingan di luar
adat, agama dan budaya. Atau, kepentingan lain itu kemudian dibungkus
seolah-olah menjadi berkaitan dengan adat, budaya dan agama.
"Jika tidak teguh
dengan sasana, tentu akan rusak jadinya. Kita semua patut berhati-hati, cerdas
memilah-milah, mana yang memang menjadi tugas dan kewenangan pecalang, dan mana
yang sesungguhnya tugas dan kewenangan polisi atau aparat keamanan lainnya.
Jika kita ingin pecalang tetap mecaling, kita harus menempatkan pecalang sesuai
dengan tugas pokok, fungsi, tanggung jawab dan kewenangannya," tandas
Wendra yang kini sebagai Ketua Forum Kerukunan antarumat Beragama (FKAUB)
Kecamatan Kuta.
Namun, Wendra juga
meminta pemerintah turut menjaga taksu dan kewibawaan pecalang. Pemerintah
jangan senantiasa melibatkan pecalang ketika melaksanakan kegiatan kendati pun
dengan alasan partisipasi masyarakat. Mesti dipilah-pilah, apakah memang pantas
dan anut pecalang dilibatkan atau tidak. Jika memang tidak, jangan memaksa
pecalang untuk terlibat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar