Minggu, 10 Februari 2013

Agar tetap "Macaling", Pecalang mesti Teguh Pada "Sasana"


PECALANG mulai mengundang perhatian orang tatkala pelaksanaan Kongres Partai Demokrasi Indonesia pro-Mega di Sanur tahun 1998 silam. Dalam kongres tersebut, pecalang diberikan tugas menjaga keamanan agar pelaksanaan kongres bisa aman, tertib dan lancar. Benar memang, kongres berjalan lancar, aman dan tertib seperti yang diharapkan. Banyak orang pun kagum dengan pecalang. Pasalnya, di tengah-tengah massa yang emosi, pecalang bisa meredakannya. Dengan bahasa Bali yang halus, pecalang bisa membuat massa menjadi lebih tenang dan tertib.

Sejak saat itu, pecalang dipuji-puji. Banyak desa-desa adat yang membentuk pecalang. Jika dulu pecalang hanya bertugas menjaga pelaksanaan upacara adat dan agama di desa adat, belakangan pecalang mendapat tambahan tugas menjaga setiap kegiatan yang berkaitan dengan adat dan budaya Bali. 

Hingga kini, perdebatan mengenai perilaku pecalang ketika melaksanakan tugasnya masih terjadi. Apalagi ditemukan adanya satuan tugas partai politik (satgas parpol) yang juga menggunakan pakaian pecalang. Begitu juga tukang parkir di beberapa tempat juga menggunakan pakaian pecalang. 

Kondisi semacam ini memunculkan pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. Pecalang dirasakan mulai menyimpang dari sasana (tugas pokok dan fungsi)-nya. Pecalang pun diharapkan bisa kembali kepada tugas pokok dan fungsi awalnya yakni menjadi "polisi" adat dan agama. 

Menurut Bendesa Desa Adat Kerobokan, Badung, AA Kompyang Sutedja, pecalang dibentuk sejatinya untuk membantu kelancaran, keamanan dan ketertiban pelaksanaan yadnya di desa adat. Selain itu, pecalang juga membantu prajuru bagian palemahan mewujudkan ketenteraman dan ketertiban di wilayah desa adat. 

"Yang paling penting, pecalang ngayah di wilayah desa serta berdasarkan perintah dari bendesa adat. Pecalang tidak boleh melaksanakan tugas melewati wilayah desa adat serta tanpa perintah dari bendesa adat," kata Kompyang Sutedja. 

Di Desa Adat Legian juga tidak jauh berbeda. Di desa wisata yang tersohor itu, pecalang juga dimanfaatkan ketika ada upacara di desa. Di luar kepentingan itu, pecalang tidak diperkenankan untuk dimanfaatkan. 

"Kalau ada undangan untuk menurunkan pecalang, meskipun untuk kegiatan yang berhubungan dengan adat, agama dan budaya, tetapi berada di luar wilayah desa adat, mohon maaf, kami tidak bisa memenuhi karena itu di luar tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab pecalang," kata Bendesa Adat Legian, Wayan Widana. 

Menurut Widana, pecalang sudah memiliki uger-uger (ketentuan-ketentuan) yang disepakati dan dihormati seluruh krama desa adat yang dituangkan melalui awig-awig. Ketentuan-ketentuan itu mesti dipegang teguh agar tidak menimbulkan persoalan kelak di kemudian hari. 

"Kalau pengamanan umum kan sudah ada polisi maupun aparat keamanan lainnya. Pembagian tugas-tugasnya sudah jelas sehingga mesti dijaga oleh semua pihak," kata Widana. 

Apa yang dikemukakan Wayan Widana benar adanya, memang. Bendesa adat sebagai pimpinan puncak di desa adat mesti teguh dan tegas dengan ketentuan-ketentuan mengenai tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab pecalang. Bendesa adat mesti bersikap tegas jika ada yang memanfaatkan pecalang untuk kepentingan lain yang tidak ada hubungan sama sekali dengan kegiatan adat, agama dan budaya. 

Mantan Bendesa Desa Adat Kuta, I Made Wendra mengungkapkan kini banyak godaan terhadap pecalang. Pasalnya, pecalang dirasakan cukup mataksu, berwibawa dan berpengaruh. Karenanya, banyak yang ingin memanfaatkan pecalang untuk kepentingan di luar adat, agama dan budaya. Atau, kepentingan lain itu kemudian dibungkus seolah-olah menjadi berkaitan dengan adat, budaya dan agama. 

"Jika tidak teguh dengan sasana, tentu akan rusak jadinya. Kita semua patut berhati-hati, cerdas memilah-milah, mana yang memang menjadi tugas dan kewenangan pecalang, dan mana yang sesungguhnya tugas dan kewenangan polisi atau aparat keamanan lainnya. Jika kita ingin pecalang tetap mecaling, kita harus menempatkan pecalang sesuai dengan tugas pokok, fungsi, tanggung jawab dan kewenangannya," tandas Wendra yang kini sebagai Ketua Forum Kerukunan antarumat Beragama (FKAUB) Kecamatan Kuta. 

Namun, Wendra juga meminta pemerintah turut menjaga taksu dan kewibawaan pecalang. Pemerintah jangan senantiasa melibatkan pecalang ketika melaksanakan kegiatan kendati pun dengan alasan partisipasi masyarakat. Mesti dipilah-pilah, apakah memang pantas dan anut pecalang dilibatkan atau tidak. Jika memang tidak, jangan memaksa pecalang untuk terlibat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar