Minggu, 10 Februari 2013

Kebudayaan Suku SUmbawa

Proses Terbentuknya Kebudayaan Suku Sumbawa
Di dalam tambo Samawa dan sebagaimana juga terdapat dalam berpuluh-puluh hikayat yang dikenal Sumbawa menceritakan kepada kita bahwa suku Sumbawa atau “Tau Samawa” awal terbentuknya, nenek moyang mereka adalah terdiri dari berbagai jenis suku yang berdatangan dari berbagai bagian Nusantara kita ini. Mereka mengadakan hubungan perkawinan dengan penduduk  yang lebih dahulu mendiami daerah ini. Walaupun mereka tidak bersama waktu datangnya, tetapi karena telah berabad-abad lamanya hidup dalam lingkungan kekerabatan dan kekeluargaan, maka dari keturunan mereka inilah akhirnya merupakan satu rumpun yang menamakan dirinya “Tau Samawa”. Dari pengaruh percampurannya yang banyak dan luas ini, maka dapat kita lihat, bahwa watak orang Sumbawa adalah kompromis dan penuh dengan rasa toleran. Pribadi mereka diabadikan dalam suatu “lawas”:
Tutu’ si lenas mu gita.
Mara ai dalam dulang.
Rosa dadi umak rea.
Terjemahannya:
Lahirnya tak beriak.
Seperti air di dulang.
Namun sesekali bisa menjulang
seperti ombak mendebur pantai.
Tetapi di dalam kelompoknya yang berpisah-pisah seperti misalnya kampong atau desa, mereka mempunyai sifat pembawaan masing-masing, kira-kira dapat diartikan sebagai kumpulan julukan yang diistilahkan dengan “balontar” (berpilin-pilin), masing-masing negeri memiliki julukan, antara lain misalnya : “Samawa tanja’ Makasar”, Utan basanja’bae”, “Rangking Pakajang Rate”, “Aru-aru Tatabel”, “Pasiki Lenangguar”, “Gambo Pamangong”, “Merang Taliwang” dn lain-lain.
Dengan mengikuti perkembangan sejarahnya, benar-benar nyata kebhinekaannya dengan masing-masing membawa kebudayaannya. Tetapi walau demikian, nyata pula ketungal-ikaannya, karena semua yang mereka bawa itu terelebur menjadi satu yaitu “KEBUDAYAAN SAMAWA”.
Selanjutnya bila kita menperhatikan adat- istiadat yang hidup di kalangan orang-orang Sumbawa dapatlah kita lihat merupakan percampuran adat-istiadat (cultur) Jawa dan Makasar/Bugis. Kita mengenal pengaruh peradaban Jawa menurut sisa-sisa kini yang masih kita dapati, antara lain yaitu:
1)      Bidang bahasa, banyak kita temukan istilah-istilah terutama nama pejabat-pejabat Kerajaan, seperti Dewa Maraja. Ranga, Dipati (Adipati), Mentari Telu, Mamanca Lima, Lelurah Pitu dan perwira-perwiranya disebut Sarian, Penggawa, Bayangkara dan lain-lain.
2)      Bidang adat-istiadat seperti “Biso tiyan” yaitu selamatan tujuh bulan kehamilan pertama istri.
Di samping itu kita kenal pula dengan pegaruh lainnya, yaitu dari suku Bugis/Makasar. Dengan perhubungna perkawinan perpindahan anak-anak raja dari Goa dan Bugis turut mewarnai adat-istiadat Sumbawa terutama dikalangan raja dan kaum bangsawan. Sehingga anak raj sebelum kawin berhgelar “DaEng” dan setelah kawin bergelar “Datu”. Dalam berpakaian, baik dalam pakaian sehari-hari  terlebih lagi pakaian raja, para menteri dan para “lanta” adalah dalam Bugis/Makasar. Hiasan-hiasan bagi wanita maupun pria adalah serupa dengan Bugis/Makasar yang lebih kerap dapat terlihat pada pakaian pengantin.
Karena pengaruh beraneka adat-istiadat itu menyebabkan adat-istiadat asli suku Sumbawa sudah hampir tidak dikenal lagi ciri khasnya dan timbullah sintesa dari ketiga adat-istiadat itu yang kini merupakan adat-istiadat suku Sumbawa. Dari perpaaduan kebudayaan diatas, kemudian bercampur lagi dengan keturunan-keturunan yang datang dari Palembang, Minangkabau, Banjar dan lain-lain telah menjadikan suku Sumbawa berpancaran darah seni dalam jiwanya. Kalau kita berada di tengah-tengah majelis orang-orang tua, misalnya dalam upacara peminangan dan lain sebagainya, maka kita akan mendengar dalam ucapan-ucapan sebagai pengantar kata, selalu dalam rangkaian kata-kata yang bersifat puitis. Demikian juga misalnya ada barang yang dikehendaki pada seseorang tidak langsung terlontar kata meminta. Tetapi diselubung dengan kata-kata: “Ajan sempama katingka, batemung untung ke rela, lebe jina ku rasate ade siya kango, na kena ya rowa si bosan, ba kareng aku mo baeng jampang”.
Orang-orang membuat kumpulan “lawas-lawas” yang dinamakan “bumbung”. Di atas permukaan daun lontar yang telah dikuningkan dulu dengan kunyit, lebarnya kira-kira 2 cm dan panjangnya kira-kira 12 cm. Lawas-lawas ditulis dengan cara menggoreskan daun lontar dengan ujung “pangat”,  yaitu semacam pisau salah satu macam senjata orang Sumbawa. Berpuluh-puluh daun lontar di beri lobang pada kedua ujungnya, demikian pula kulit pada sebelah atas dan sebelah bawahnya yang dibuat dari kayu tipis diberi berlubang pada kedua ujungnya masing-masing, kemudian kudua ujung yang berlubang itu masing-masing dicucuk dengan benang yang dipilin, itulah yang dinamakan “bumung”.
                        Dalam bidang kesenian, secara sepintas kelihatan Sumbawa kering dalam hal ini.
B.     Bahasa Suku Sumbawa
Bahasa Sumbawa, atau Basa Samawa, adalah bahasa yang dituturkan di bekas wilayah Kesultanan Sumbawa yaitu wilayah Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat. Jumlah penuturnya sekitar 300 000 orang (1989).
Dari segi linguistik, bahasa Sumbawa serumpun dengan bahasa Sasak. Kedua bahasa ini merupakan kelompok dalam rumpun bahasa Bali-Sasak-Sumbawa yang pada gilirannya termasuk dalam satu kelompok "Utara dan Timur" dalam kelompok Melayu-Sumbawa.
Dalam Bahasa Sumbawa, dikenal beberapa dialek regional atau variasi bahasa berdasarkan daerah penyebarannya, di antaranya dialek Samawa, Baturotok atau Batulante, dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen, serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh, dan dialek Tongo. Dalam dialek-dialek regional tersebut masih terdapat sejumlah variasi dialek regional yang dipakai oleh komunitas tertentu yang menandai bahwa betapa Suku Sumbawa ini terdiri atas berbagai macam leluhur etnik, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar keturunan etnik Bajau sangat berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh komunitas masyarakat di Kampung Sampir yang merupakan keturunan etnik Mandar, Bugis, dan Makassar.
Interaksi sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat Sumbawa menuntut hadirnya bahasa yang mampu menjembatani segala kepentingan mereka, konsekuensinya kelompok masyarakat yang relatif lebih maju akan cenderung memengaruhi kelompok masyarakat yang berada pada strata di bawahnya, maka bahasapun mengalir dan menyebar selaras dengan perkembangan budaya mereka. Dialek Samawa atau dialek Sumbawa Besar yang cikal bakalnya berasal dari dialek Seran, semenjak kekuasaan raja-raja Islam di Kesultanan Sumbawa hingga sekarang dipelajari oleh semua kelompok masyarakat Sumbawa sebagai jembatan komunikasi mereka, sehingga dialek Samawa secara otomatis menempati posisi sebagai dialek standar dalam Bahasa Sumbawa, artinya variasi sosial atau regional suatu bahasa yang telah diterima sebagai standar bahasa dan mewakili dialek-dialek regional lain yang berada dalam Bahasa Sumbawa.
Sebagai bahasa yang dominan dipakai oleh kelompok-kelompok sosial di Sumbawa, maka Basa Samawa tidak hanya diterima sebagai bahasa pemersatu antaretnik penghuni bekas Kesultanan Sumbawa saja, melainkan juga berguna sebagai media yang memperlancar kebudayaan daerah yang didukung oleh sebagian besar pemakainya, dan dipakai sebagai bahasa percakapan sehari-hari dalam kalangan elit politik, sosial, dan ekonomi, akibatnya basa Samawa berkembang dengan mendapat kata-kata serapan dari bahasa asal etnik para penuturnya, yakni etnik Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bima, Sulawesi (Bugis, Makassar, Mandar), Sumatera (Padang dan Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), Cina (Tolkin dan Tartar) serta Arab, bahkan pada masa penjajahan basa Samawa juga menyerap kosa kata asing yang berasal dari Portugis, Belanda, dan Jepang sehingga basa Samawa kini telah diterima sebagai bahasa yang menunjukkan tingkat kemapanan yang relatif tinggi dalam pembahasan bahasa-bahasa daerah.
C.    Struktur Adat Suku Sumbawa
Golongan kesatuan sosial yang terkecil di Sumbawa adalah keluarga (gezin) yang terdiri dari ayah, ibu, anak-anak yang belum bersuami atau beristri. Famili di Sumbawa adalah himpunan dari pada deretan orang-orang atau individu-individu yang sealiran darah dengan ayah atau dengan ibu daripada seseorang. Jadi susunan keluarga yang berlaku di Sumbawa adalah susunan bilateral, yaitu mengakui setiap individu selaku anggota familinya, disebabkan oleh keturunan  yang sama dengan ayah dan ibunya. Namun demikian perlu dijelaskan disini, bahwa corak daripada famili yang bilateral pada suku Sumbawa tidaklah akan dapat disamakan dengan apa yang terdapat pada beberapa golongan Suku Bangsa Indonesia lainnya (umpama Toraja) yang pada hakekatnya masih merupakan kesatuan sosial yang besar, bahkan juga menjadi golongan kesatuan ekonomi. Sehubungan hal yang tersebut ini, maka diseluruh Kerajaan Sumbawa tidak dijumpai desa-desa yang tersusun daripada anggota-anggota family yang merupakan kesatuan geneaologis.
Raja dalam masyarakat Sumbawa adalah sebagai “Orang yang dituakan”, figur pemersatu. Keputusan adat tertinggi dihasilkan oleh tiga lembaga yang bersama-sama merupakan “Majelis Lima Belas Orang” dan diketuai oleh Ranga sebagai Mangkubumi. Keputusan-keputusan ringan cukup oleh “Tau Telu”, yaitu 1. Ranga, Ketua Dewan Menteri, 2. Longan Samapuin, Ketua Mamanca Lima dan 3. Ngeru, Ketua Lelurah Pitu. Segala keputusan diteguhkan oleh Raja, sehingga dengan demikian lalu mendapatkan kekuatan hokum. Keempat Lembaga yang menghasilkan hukum ini ialah Raja, Menteri Telu, Memanca Lima, dan Lelurah Pitu, secara bersama-sama disebut “Catur Papat”. Segala keputusan Adat diumumkan kepada rakyat selalu didahului dengan menyebut: “KASUKA DEWA MASMAWA SERTA TANA’ SAMAWA”.

v   Bala Rea
Bala Rea dapat disebutkan dalam bahasa Indonesia “Rumah Besar/Rumah Gadang”, tetapi mempunyai fungsi yang berlainan. “Bala Rea” merupakan tumpuan kegiatan Kerajaan / Pemerintahan. Disamping itu berfungsi juga sebagai kediaman Raja beserta keluarga dan “abdi dalem” yang mengurus langsung kehidupan Raja dan keluarganya sehari-hari.


Tata Cara Hidup Masyarakat Kota Manado


Tata cara hidup yang tradisional masyarakat Kota Manado adalah menyangkut kebiasaan hidup dan adat istiadatnya.
Kebiasan hidup dan adat istiadat masyarakat Kota Manado lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat daerah Minahasa, karena secara hukum adat Kota Manado adalah bagian dari Wilayah Minahasa.
Perkampungan
Pola perkampungan dari tiap-tiap kelurahan di wilayah Kota Manado pada umumnya terletak diatas tanah dataran, baik dataran tinggi maupun dataran rendah secara berkelompok padat. Kelurahan yang satu dengan kelurahan yang lainnya sambung-menyambung menjadi satu kesatuan mengikuti jalan raya maupun memanjang mengikuti jalan-jalan kecil dan juga lorong-lorong.
Penduduk Asli
Pembagian penduduk Kota Manado didasarkan atas kewarganegaraan, yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA). Penduduk asli Kota Manado terdiri dari delapan sub suku bangsa, yakni Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Toulour Tonsawang, Pasan atau Ratahan, Ponosakan, dan Bantik.
Penduduk Pendatang
Yang termasuk penduduk pendatang di Kota Manado, adalah orang asing seperti Portugis dan Spanyol yang keturunannya disebut orang Borgo Manado, Belanda yang disebut orang Endo Manado, Chines yang disebut orang Cina Manado, Arab yang disebut orang Arab Manado, Jepang serta India. Ada juga penduduk pendatang yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia, seperti dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Papua, dan lain-lain.
Sistem Mata Pencaharian Hidup
Sistem mata pencaharian hidup masyarakat Kota Manado, seperti perikanan darat dan laut, pertanian, peternakan, dan kerajinan. Namun rata-rata masyarakat Kota Manado mempunyai profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Anggota TNI dan POLRI, Pengusaha dan Karyawan, Buruh, Sopir, Tukang, dan Pembantu.
Sistem Teknologi Dan Perlengkapan Hidup
Sistem teknologi dan perlengkapan hidup masyarakat Kota Manado, yaitu alat-alat produksi seperti alat produksi rumah tangga yang terbuat dari tanah liat, tempurung, kayu dan bambu; alat-alat pertanian seperti pajeko, sisir, pacol, sekop, peda, tamako, sabit, pisau, dan lain-lain; alat-alat perikanan seperti perahu, perahu motor, pelang, soma, panah, tombak, jala, lampu petromax, nonae, sosoroka, dan lain-lain; alat-alat peternakan seperti sangkar ayam dan itik, pemotong rumput makanan kuda dan sapi, kandang babi, kandang kuda, dan lain-lain; alat-alat kerajinan seperti pemintal tali, penjahit atap, benang untuk membuat tali, martelu, peda, pisau, dan lain-lain; alat-alat distribusi dan transportasi seperti perhubungan darat yakni bendi, sepeda, sepeda motor, oplet, taxi, bus dan lain-lain, perhubungan lau yakni kapal motor, motor tempel, dan perahu; makanan dan minuman seperti beras dan lauk pauk sebagai makanan utama, ubi-ubian, pisang, dan buah-buahan sebagai makanan sampingan serta makanan dan minuman khusus seperti tinutuan (bubur Manado), daun pepaya, singkong, dan lain-lain serta minuman saguer selain air putih.
Pakaian Dan Perhiasan
Pakaian dan perhiasan masyarakat manado pada umumnya adalah buatan dalam negeri maupun luar negeri. Pakaian dan perhiasan tersebut bermacam-macam motifnya serta dibuat dari bermacam-macam bahan. Akan tetapi Kota Manado telah memiliki pakaian Khas Manado yang sering digunakan pada saat Pemilihan Nyong dan Nona Manado atau pada acara-acara khusus.
 Rumah Tempat Tinggal
Rumah sebagai tempat tinggal dari masyarakat Kota Manado, disebut dengan istilah : Daseng yang terbuat dari  bahan bambu/kayu kecil dan biasanya dipergunakan untuk tempat mangaso; Sabuah yang terbuat dari bahan bambu/kayu dan biasanya dipergunakan sebagai tempat penginapan sementara; serta rumah tempat tinggal baik yang terbuat dari papan, semi parmanen, dan parmanen.

Sistem Kepercayaan
Masyarakat Kota Manado masih memiliki kepercayaan lama, yakni kepercayaan kepada dewa-dewa yang menghuni alam sekitar, seperti Opo Empung (Tuhan), Opo nenek moyang, Opo kerabat, mahluk-mahluk penghuni gunung, sungai, mata air, hutan, bawah tanah, pantai dan laut, hujan, dan mata amgin.
Selain itu ada juga kepercayaan yang berhubungan dengan mahluk halus lainnya, seperti mukur, pontianak, setang mangiung-ngiung, pok-pok, panunggu, jin, dan lulu.
Kesusastraan Suci
Kesusastraan suci berupa  Masambo dalam bentuk syair guna meminta doa, meminta makanan, naik rumah baru, dan perkawinan.
Sistem Pengetahuan
Yang berhubungan dengan alam fauna, yakni tanda-tanda bunyi burung dan tanda-tanda melihat binatang yang merupakan tanda baik dan juga buruk bagi orang yang mendengar dan melihatnya; Yang berhubungan dengan alam flora, yakni makanan dan minuman, kebutuhan pengobatan, menentukan batas tanah, legenda asal usul, dan kepentingan bahan bangunan; Yang berkaitan dengan tubuh manusia, yakni menyangkut perbuatan terutama berupa larangan juga berupa mimpi.
Sistem Pengetahuan Tentang Alam
Seperti melihat bintang, maka sudah boleh menanam; tak seorangpun akan menanam atau memetik/mengambil tumbuh-tumbuhan bilamana di siang hari bulan masih tampak; bila awan dilangit kelihatan berpetak-petak tandanya banyak ikan dilaut; bila terdengar segerombolan lebah terbang dari arah utara menuju selatan, alamat akan terjadi musim kemarau yang panjang; bila terjadi angin ribut, hujan keras dan banjir tandanya telah terjadi sesuatu yang melanggar norma kesusilaan.
Pengetahuan Tentang Waktu
Melihat matahari mulai terbit berarti sudah jam enam pagi, matahari diatas kepala sudah jam dua belas siang, dan matahari masuk tandanya sudah jam enam sore. Mendengar ayam berkokok tengah malam tandanya sudah jam dua belas tengah malam, berkokok selanjutnya alamat sudah hampir siang atau jam tiga pagi, dan berkokok tak putus-putusnya alamat sudah akan pagi.

Adat dan Kepribadian Orang Madura


Adat dan kepribadian orang Madura merupakan titik tolak terbentuknya watak dengan prinsip teguh yang dipengaruhi oleh karakteristik geografis daerahnya. Satu prinsip yang menjadi fenomena orang Madura, ialah dikenal sebagai orang yang mampu mengambil dan menarik manfaat yang dilakukan dari hasil budi orang lain, tanpa mengorbankan kepribadiannya sendiri. Demikian pula orang Madura pada umumnya menghargai dan menjunjung tinggi rasa solidaritas kepada orang lain.

Sikap hidup semacam ini, menjadikan orang-orang Madura diluar Madura mudah dikenal, supel serta menunjukkan sikap toleran terhadap sesame. Kadang kontradiktif bila melihat penampilan fisik bila dibandingkan kenyataan hidup yang sebenarnya. Sebagai contoh, bila satu rumah tangga kedatangan tamu (apalagi tamu jauh), dapat dipastikan mereka sangat dihormati. Mereka berani berkorban untuk menjamu sang tamu, meski hanya secangkir air. Kalaupun dapat, mereka berusaha memuaskan dengan jamuan lebih, bahkan berani mencari hutang demi menghormati tamu. Tapi sebaliknya apabila penghargaan itu ditolak atau meski sedikit tidak mau dicicipi suguhannya, maka tamu tersebut berarti dianggap menginjak penghargaan tuan rumah. Dan kemungkinan semacam ini akan tumbuh benih-benih rasa benci dan dendam

Sebagai suku yang hidup di kepualauan, orang Madura dijaman dulu kurang mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan dunia luar. Mereka sangat berhati-hati, dan akibatnya sesuatu yang datang dari luar merupakan ancaman bagi dirinya. Meskipun pada dasarnya mereka konservatif, yakni berusaha memelihara dan menjamin nilai-nilai yang mengakar dalam dirinya. Tapi dalam segi yang lain, orang Madura menunjukkan naluri yang kuat untuk menjamin dan bertahan kelangsungan hidup, karena mereka didorong untuk menerima dan memanfaatkan nilai-nilai yang terserap dari luar.

Sebagai contoh yang paling gamblang, ketika tentara Bali menerima kekalahan di Sumenep, mereka dihargai sebagai tamu dan sebagai saudara untuk kemudian memperkenalkan cara-cara bertani garam. Maka secepat itu orang-orang setempat menyebarkan keseluruh Madura.

Demikian pula dari kedatangan bangsa Cina ke Madura, banyak mempengaruhi cara hidup dalam sumber mata pencaharian, khususnya dalam ilmu berdagang. Hingga dalam bentuk budayapun sangat berpengaruh dalam bentuk gaya bangunan, sehingga arsitektur bangunan di Madura banyak mirip dengan bentuk-bentuk bangunan gaya Cina. Pengaruh arsitektur ini pada awalnya dibawa oleh Lauw Pia Ngo yang membangun Keraton Sumenep dan arsitektur bangunan Masjid Jamik Sumenep pada jaman pemerintahan Panembahan Sumolo (Tumenggung Ario Noto Kusumo) tahun 1762-1784 M.


Demikian pula, dengan kedatangan para saudagar Gujarat yang menyiarkan agama Islam di Madura, mampu dan berhasil mengislamkan para pemimpin dan bangsawan Madura sampai menyebar keseluruh pelosok Madura. Dengan bukti-bukti tersebut, maka tidak benar bila watak dan sikap hidup Madura bebal dan sulit diajak kerja sama. Bahkan sebaliknya, justru mereka lebih akrab, terbuka dalam kondisi apapuna.

Namun kemungkinan besar, kalaupun terjadi controversial, terletak pada terputusnya komunikasi bahasa yang orang luar menganggap angkuh dan bertahan. Padahal sebenarnya, bila seseorang mengenal lebih jauh dan berkomunikasi lancer dengan orang Madura maka akan sirna bayangan keras dan bringas itu. Kecuali terhadap pendatang yang congkak, menyinggung perasaan dan mau merusak harga diri dan hak kepentingannya, maka tak segan-segan mereka akan berbicara melalui kekerasan. Atau dengan kata lain, meski dengan wajah angker dan bringas belum tentu berarti berprilaku kasar atau keras. Orang Madura lebih terbuka.

Satu falsafah yang membebani orang Madura menjadi ramah, taat tunduk dan sopan, dalam bahasa Madura disebut : Bapa’, Babu’, Guru, Rato ( Bapak, Ibu, Guru, Raja). Rato disini mempunyai pengertian pimpinan atau pemerintah. Maka tak heran bila di Madura sendiri jarang terjadi “ pemberontakan” yang kaitannya dengan permasalahan kepemiminan, selama rakyat diperhatikan keberadaannya. Dan mereka akan memberontak bila ketidakadilan terjadi sebagaimana terjadi pada peristiwa-peristiwa pemberontakan Trunojoyo dan lainnya.

Di lain hal, guru/kiai bagi orang Madura merupakan tokoh sentral yang wajib dianut, terutama diwilayah bagian Timur (Pamekasan-Sumenep). Sedang di wilayah Barat (Bangkalan-Sampang) tokoh sentralnya tidak selalu kiai, bahkan tokoh kriminalpun kadang menjadi panutan bagi masyarakat tertentu. Maka tak heran, bila carok kerap terjadi di daerah itu.

Meski demikian, paling tidak kriminalitas dan carok di Madura banyak mengalami grafik menurun. Hal ini tentu berkat kesigapan dan pembinaan aparat pemerintah setempat, sehingga keamanan dan ketertiban cukup terjamin. Dua hal yang mempengaruhi kesadaran masyarakat untuk tidak berbuat criminal, yang pertama adalah kewibawaan aparat keamanan yang mulai menyatu dengan masyarakat, dan yang kedua kekompakan masyarakat untuk menghindar dan menjaga kemungkinan terjadi tindakan criminal serta memelihara keamanan dan ketertiban.

Lalu apa kaitannya, antara watak orang Madura sendiri dengan orang Madura di Jawa? Bila melihat perkembangan masyarakat Madura, pada tahun terkahir ini, hamper tidak dapat dibedakan antara orang Madura dengan orang Madura luar Madura dalam hal perkelahian carok. Sehingga setiap perkelahian yang menggunakan senjata tajam clurit masyarakat secara langsung mengklaim perkelahian dilakukan oleh orang Madura.
Perlu dimaklumi, pada permulaan sejarah, Madura banyak diisi oleh pendatang dari tanah Jawa, maka pada abad-abad berikutnya setelah hutan di Madura menjadi gundul dan tanahnya menjadi tandus dan gersang, mereka mulai meninggalkan Madura ke tanah Jawa. Hal ini mengakibatkan tanah di Madura semakin tidak terurus yang pada akhirnya datanglah masa-masa Madura disebut sebagai daerah kering dan rawan. Eksodus orang-orang Madura ke tanah Jawa pada umumnya mendatangi daerah-daerah pesisir bagian timur di Jawa Timur dan menyebar nulai dari Gresik sampai ke Banyuwangi sebagai nelayan dan pedagang. Kemudian pada periode berikutnya mulai merambah kedaerah pegunungan sebagai petani.

Daerah pantai Jawa Timur yang menjadi sasaran mulai dari pantai Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo,  Besuki, Situbondo, dan Banyuwangi. Sedang daerah pertanian yang menjadi sasaran mulai dari Bondowoso, Banyuwangi hingga Lumajang sampai perbatasan Malang. Jadi tak heran bila daerah-daerah tersebut, khususnya bagian wilayah timur bahasa daerahnya menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa sehari-hari.

Dalam hal pertanian, petani Madura memang lebih rajin dan ulet dibanding petani Jawa sendiri. Rajin dan keuletan inilah banyak member kesempatan kepada pendatang orang  asal Madura lebih leluasa membuka lahan pertanian di Jawa. Hal ini disebabkan, cara kerja mereka yang semula berhadapan dengan tanah tandus, lalu beralihlah ke tanah yang subur, maka semakin bergairah. Maka tak heran bila pendatang Madura di daerah itu banyak yang berhasil, bahkan sebagian besar menjadi tuan tanah.

Pada perkembangan berikutnya dari eksodus orang-orang Madura tersebut ke tanah Jawa semakin menyatu dan merasakan tanah baru itu merupakan tanah kelahiran kedua setelah tanah kelahiran nenek miyangnya, Madura. Dan pada gilirannya, justru orang-orang Jawa sendiri nyaris malah dianggap sebagai pendatang.

Secara cultural, pada dasarnya mereka eksodus ke tanah Jawa tidak ada perbedaan dari kultur yang dibawanya. Hal ini dapat dilihat dari adat-istiadat dan sikap hidup yang hamper serupa dengan daerah asalnya. Kalau terjadi perubahan hanya terbatas pada hal-hal tertentu, yaitu dalam bentuk fisiknya saja. Meski demikian, masyarakat Jawa yang menyatu dengan kultur Madura, belum berarti memiliki sanak keluarga di Madura. Yang demikian itu merupakan salah satu bentuk perkembangan yang tidak dapat dielakkan, yang mungkin dengan terputusnya komunikasi antara Jawa dan Madura. Akan menjadikan pemisahan suku, meski pada awalnya terbentuk dari suku Madura.

Untuk menghindari terputusnya hubungan tersebut, tradisi perkumpulan silaturahmi masyarakat Madura di tanah Jawa perlu dilestarikan  (Lontar Madura)

Agar tetap "Macaling", Pecalang mesti Teguh Pada "Sasana"


PECALANG mulai mengundang perhatian orang tatkala pelaksanaan Kongres Partai Demokrasi Indonesia pro-Mega di Sanur tahun 1998 silam. Dalam kongres tersebut, pecalang diberikan tugas menjaga keamanan agar pelaksanaan kongres bisa aman, tertib dan lancar. Benar memang, kongres berjalan lancar, aman dan tertib seperti yang diharapkan. Banyak orang pun kagum dengan pecalang. Pasalnya, di tengah-tengah massa yang emosi, pecalang bisa meredakannya. Dengan bahasa Bali yang halus, pecalang bisa membuat massa menjadi lebih tenang dan tertib.

Sejak saat itu, pecalang dipuji-puji. Banyak desa-desa adat yang membentuk pecalang. Jika dulu pecalang hanya bertugas menjaga pelaksanaan upacara adat dan agama di desa adat, belakangan pecalang mendapat tambahan tugas menjaga setiap kegiatan yang berkaitan dengan adat dan budaya Bali. 

Hingga kini, perdebatan mengenai perilaku pecalang ketika melaksanakan tugasnya masih terjadi. Apalagi ditemukan adanya satuan tugas partai politik (satgas parpol) yang juga menggunakan pakaian pecalang. Begitu juga tukang parkir di beberapa tempat juga menggunakan pakaian pecalang. 

Kondisi semacam ini memunculkan pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. Pecalang dirasakan mulai menyimpang dari sasana (tugas pokok dan fungsi)-nya. Pecalang pun diharapkan bisa kembali kepada tugas pokok dan fungsi awalnya yakni menjadi "polisi" adat dan agama. 

Menurut Bendesa Desa Adat Kerobokan, Badung, AA Kompyang Sutedja, pecalang dibentuk sejatinya untuk membantu kelancaran, keamanan dan ketertiban pelaksanaan yadnya di desa adat. Selain itu, pecalang juga membantu prajuru bagian palemahan mewujudkan ketenteraman dan ketertiban di wilayah desa adat. 

"Yang paling penting, pecalang ngayah di wilayah desa serta berdasarkan perintah dari bendesa adat. Pecalang tidak boleh melaksanakan tugas melewati wilayah desa adat serta tanpa perintah dari bendesa adat," kata Kompyang Sutedja. 

Di Desa Adat Legian juga tidak jauh berbeda. Di desa wisata yang tersohor itu, pecalang juga dimanfaatkan ketika ada upacara di desa. Di luar kepentingan itu, pecalang tidak diperkenankan untuk dimanfaatkan. 

"Kalau ada undangan untuk menurunkan pecalang, meskipun untuk kegiatan yang berhubungan dengan adat, agama dan budaya, tetapi berada di luar wilayah desa adat, mohon maaf, kami tidak bisa memenuhi karena itu di luar tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab pecalang," kata Bendesa Adat Legian, Wayan Widana. 

Menurut Widana, pecalang sudah memiliki uger-uger (ketentuan-ketentuan) yang disepakati dan dihormati seluruh krama desa adat yang dituangkan melalui awig-awig. Ketentuan-ketentuan itu mesti dipegang teguh agar tidak menimbulkan persoalan kelak di kemudian hari. 

"Kalau pengamanan umum kan sudah ada polisi maupun aparat keamanan lainnya. Pembagian tugas-tugasnya sudah jelas sehingga mesti dijaga oleh semua pihak," kata Widana. 

Apa yang dikemukakan Wayan Widana benar adanya, memang. Bendesa adat sebagai pimpinan puncak di desa adat mesti teguh dan tegas dengan ketentuan-ketentuan mengenai tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab pecalang. Bendesa adat mesti bersikap tegas jika ada yang memanfaatkan pecalang untuk kepentingan lain yang tidak ada hubungan sama sekali dengan kegiatan adat, agama dan budaya. 

Mantan Bendesa Desa Adat Kuta, I Made Wendra mengungkapkan kini banyak godaan terhadap pecalang. Pasalnya, pecalang dirasakan cukup mataksu, berwibawa dan berpengaruh. Karenanya, banyak yang ingin memanfaatkan pecalang untuk kepentingan di luar adat, agama dan budaya. Atau, kepentingan lain itu kemudian dibungkus seolah-olah menjadi berkaitan dengan adat, budaya dan agama. 

"Jika tidak teguh dengan sasana, tentu akan rusak jadinya. Kita semua patut berhati-hati, cerdas memilah-milah, mana yang memang menjadi tugas dan kewenangan pecalang, dan mana yang sesungguhnya tugas dan kewenangan polisi atau aparat keamanan lainnya. Jika kita ingin pecalang tetap mecaling, kita harus menempatkan pecalang sesuai dengan tugas pokok, fungsi, tanggung jawab dan kewenangannya," tandas Wendra yang kini sebagai Ketua Forum Kerukunan antarumat Beragama (FKAUB) Kecamatan Kuta. 

Namun, Wendra juga meminta pemerintah turut menjaga taksu dan kewibawaan pecalang. Pemerintah jangan senantiasa melibatkan pecalang ketika melaksanakan kegiatan kendati pun dengan alasan partisipasi masyarakat. Mesti dipilah-pilah, apakah memang pantas dan anut pecalang dilibatkan atau tidak. Jika memang tidak, jangan memaksa pecalang untuk terlibat.

KARAKTER KHAS SUKU JAWA DENGAN TRADISI TRADISINYA


Suku Jawa merupakan salah satu suku terbesar yang berdiam di negara Indonesia. Sebagai buktinya, kemana pun Anda melangkah kan kaki ke bagian pelosok penjuru negeri ini, Anda pasti akan menemukan suku-suku Jawa yang mendiami kawasan tersebut meskipun terkadang jumlahnya minorotas,dengan kata lain di mana  ada kehidupan di seluruh Indonesia Orang Jawa selalu ada.
Suku Jawa hidup dalam lingkungan adat istiadat yang sangat kental. Adat istiadat Suku Jawa masih sering digunakan dalam berbagai kegiatan masyarakat. Mulai masa-masa kehamilan hingga kematian. Di dalam hal ini di manapun Suku Jawa berada akan selalu dilaksanakan dan di jadkan  Ugeman atau Pathokan dalam kehidupannya.
Banyak yang bisa di gali dari literatur literatur yang sdh ada bahwa suku jawa punya banyak keaneka ragaman ciri khas dan budaya beserta tradisi tradisinya
Dan bila kita seumpama sebagai suku lain  yang ada di Indonesia akan sangat dengan mudahnya berinteraksi dengan suku jawa di karenakan suku ini mempunyai sifat dan karakter yang sangat santun dalam bermasyarakat dengan di terimanya  suku Jawa sebagai bagian dari anggota masyarakat oleh  suku lain di seluruh Indonesia. 

Sifat dan Karakter Orang Jawa
Suku jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan, menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung-langsung, menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara. Dalam keseharian sifat Andap Asorterhadap yang lebih tua akan lebih di utamakan,Bahasa Jawa adalah bahasa berstrata, memiliki berbagai tingkatan yang disesuaikan dengan objek yang diajak bicara.

Suku Jawa umumnya mereka lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Misalnya saat bertamu dan disuguhi hidangan. Karakter khas seorang yang bersuku Jawa adalah menunggu dipersilahkan untuk mencicipi, bahkan terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendak atau keinginan hati. 


  
Suku Jawa memang sangat menjunjung tinggi etika. Baik secara sikap maupun berbicara. Untuk berbicara, seorang yang lebih muda hendaknya menggunakan bahasa Jawa halus yang terkesan lebih sopan.

Berbeda dengan bahasa yang digunakan untuk rekan sebaya maupun yang usianya di bawah. Demikian juga dengan sikap, orang yang lebih muda hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap etika yang baik terhadap orang yang usianya lebih tua dari dirinya, dalam bahasa jawa Ngajeni 
Ciri khas Narimo ing pandum adalah salah satu konsep hidup yang dianut oleh Orang Jawa. Pola ini menggambarkan sikap hidup yang serba pasrah dengan segala keputusan yang ditentukan oleh Tuhan. Orang Jawamemang menyakini bahwa kehidupan ini ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang begitu saja. 
Setiap hal yang terjadi dalam kehidupan ini adalah sesuai dengan kehendak sang pengatur hidup. Kita tidak dapat mengelak, apalagi melawan semua itu. Inilah yang dikatakan sebagai nasib kehidupan. Dan, nasib  kehidupan adalah rahasia Tuhan, kita sebagai makhluk hidup tidak dapat mengelak. Orang Jawa memahami betul kondisi tersebut sehingga mereka yakin bahwa Tuhan telah mengatur segalanya.

 Pola kehidupan orang jawa memang unik. Jika kita mencoba untuk menelusuri pola hidup orang jawa, maka ada banyak nilai positif yang kita dapatkan. Bagi orang jawa, Tuhan telah mengatur jatah penghidupan bagi semua makhluk hidupnya, termasuk manusia. Setiap hari kita melihat banyak orang yang keluar rumah, seperti juga, banyak burung yang keluar sarang untuk mencari penghidupan. Pagi mereka keluar rumah dan sore pulang dengan kondisi yang lebih baik


Urip Ora Ngoyo 

Konsep hidup nerimo ing pandum ( ora ngoyo ) selanjutnya mengisyaratkan bahwa orang Jawa hidup tidak terlalu berambisi. Jalani saja segala yang harus di jalani. Tidak perlu terlalu ambisi untuk melakukan sesuatu yang nyata-nyata tidak dapat di lakukan. Orang Jawa tidak menyarankan hal tersebut.
Hidup sudah mengalir sesuai dengan koridornya. Kita boleh saja mempercepat laju aliran tersebut, tetapi laju tersebut jangan terlalu drastis. Perubahan tersebut hanya sebuah improvisasi kita atas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Orang Jawa mengatakan dengan istilah jangan ngoyo. Biarkan hidup membawamu sesuai dengan alirannya. Jangan membawa hidup dengan tenagamu!
Bagi orang jawa hidup dan kehidupan itu sama dengan kendaraan. Dia akan membawa kita pada tujuan yang pasti. Orang jawa memposisikan diri sebagai penumpang. Kendaraan atau hiduplah yang membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Mereka tidak membawa kendaraan tersebut, melainkan dibawa oleh kendaraan.
Seperti air di dalam saluran sungai, jika mereka mengalir biasa, maka kondisinya aman dan nyaman. Tetapi ketika alirannya dipaksa untuk besar, maka aliran sungai tersebut tidak aman lagi bagi kehidupan. Orang Jawa memahami hal tersebut sehingga menerapkan konsep hidup jangan ngoyo. Ngoyo artinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu. 
Jika kita memaksakan diri untuk melakukan sesuatu, maka kemungkinan besar kita akan mengalami sesuatu yang kurang baik, misalnya kita akan sakit. Rasa sakit terjadi karena ada pemaksaan terhadap kemampuan sesungguhnya yang kita miliki.

Ciri khas lain yang tak bisa di tinggalkan adalah sifat Gotong royong atau saling membantu sesama orang di lingkungan hidupnya apalagi lebih kentara sifat itu bila kita bertandang ke pelosok pelosok daerah suku Jawa di mana sikap gotong royong akan selalu terlihat di dalam setiap sendi kehidupannya baik itu suasana suka maupun duka. 

Pola kehidupan orang jawa memang telah tertata sejak nenek moyang. Berbagai nilai luhur kehidupan adalah warisan nenek moyang yang adi luhung. Dan, semua itu dapat kita ketahui wujud nyatanya. Bagaimana eksistensi orang jawa terjaga begitu kuat sehingga sampai detik ini pola-pola tersebut tetap diterapkan dalam kehidupan.
Pola hidup kerjasama ini dapat kita ketemukan pada kerja gotongroyong yang banyak diterapkan dalam masyarakat Jawa. Orang Jawa sangat memegang teguh pepatah yang mengatakan: ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Ini merupakan konsep dasar hidup bersama yang penuh kesadaran dan tanggungjawab.
Kita harus mengakui bahwa kehidupan orang jawa memang begitu spesifik. Dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, bahkan yang ada di dunia, orang Jawa mempunyai pola hidup yang berbeda. Kebiasaan hidup secara berkelompok menyebabkan rasa diri mereka sedemikian dekat satu dengan lainnya, sehingga saling menolong merupakan sebuah kebutuhan.
Mereka selalu memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Bahkan dengan segala cara mereka ikut membantu seseorang keluar dari permasalahan, apalagi jika sesaudara atau sudah menjadi teman.

Ngajeni Pada Orang Yang Lebih Tua

Dan, yang tidak dapat kita abaikan adalah sikap hidup orang Jawa yang menejunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan. Dalam interaksi antar personal di masyarakat, mereka selalu saling menjaga segala kata dan perbuatan untuk tidak menyakiti hati orang lain.
Mereka begitu menghargai persahabatan sehingga eksistensi orang lain sangat dijunjung sebagai sesuatu yang sangat penting. Mereka tidak ingin orang lain atau dirinya mengalami sakit hati atau terseinggung oleh perkataan dan perbuatan yang dilakukan sebab bagi orang Jawa, ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono artinya, harga diri seseorang dari lidahnya (omongannya), harga badan dari pakaiannya.


ADAT DAN BUDAYA SUKU BATAK


ADAT ISTIADAT SUKU BATAK(RUHUT NI ADAT BATAK)

Aturan adat adalah acuan atau cerminan untuk melaksanakan adat didalam sukacita maupun dukacita yang pelaksanaannya harus didasarkan pada falsafah “ DALIHAN NATOLU “ serta memperhatikan nasihat nenek moyang ( Poda Ni Ompunta)

* Jolo diseat hata asa diseat raut ( di bicarakan sebelum dilaksanakan)
* Sidapot solup do na ro (mengikuti adat suhut setempat)
* Aek Godang tu aek laut, dos ni roha nasaut (Musyawarah mufakat ).

PESTA PERNIKAHAN PADA SUKU BATAK

1. Pada acara pesta perkawinan yang mutlak (mortohonan) suhi ni ampang ñaopat :

a. Pihak paranak (pengantin lelaki) yang terima ulos :

1. Ulos Pansamot : Orang tua pengantin

2. Ulos Paramaan : Abang / adik Orangtua Pengantin

3. Ulos Todoan : Abang / adik Ompung Suhut Pengantin

4. Ulos Sihunti Ampang : Saudara (Ito) atau Namboru Pengantin

b. Pihak Parboru (pengantin perempuan) yang terima sinamot :

1. Sijalo Bara / Paramai : Abang / adik pengantin

2. Sijalo Upa Tulang : Tulang pengantin

3. Sijalo Todoan : Abang / adik Ompung Suhut Pengantin atau

Simandokhon Ito pengantin *(sesuai Hasuhuton&Tonggo Raja).

4. Sijalo Upa Pariban : Kakak atau Namboru Pengantin

c. Urutan Pelaksanaan:

1. Ulos Hela diberikan setelah Ulos Pansamot.

2. Sijalo Paramai diberikan setelah sinamot nagok diterima Suhut Parboru.

2. Pada acara Adat Perkawinan yang harus diperhatikan :

a. Tintin marangkup diberikan kepada Tulang Pengantin pria, bila perkawinan dengan

Pariban Kandung (Boru Tulang), tidak ada Tintin Marangkup.

b. Jumlah Tintin Marangkup, sesuai kesepakatan demikian Panandaion bila ada.

c. Ulos yang diturunkan (tambahan) tidak boleh melebihi tanggungan Parboro.

d. Uang Pinggan Panungpunan, disesuaikan dengan besarnya Sinamot.

e. Undangan pada acara adat Boru Sihombing atau Bere Sihombing, suhu – suhu Ompu yang menerima Sinamot / Tintin Marangkup / Upa Tulang , wajib memberikan ulos Herbang, selain yang memberi ulos Herbang, boleh memberi uang (pembeli ulos).

PESTA UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL

Pada Acara Adat Kematian (meniggal dunia), ulos yang berjalan dan acara sesuai tingkat kematian :

1. Meninggalnya dari usia anak-anak sampai usia berkeluarga :

a. Anak-anak dan Boru Sihombing remaja : Lampin atau Saput dari orangtua.

b. Remaja / Pemuda Sihombing : Saput dari Tulang-nya.

c. Kembali dari makan tidak ada acara adat lagi.

2. Meninggal Suami / Isteri :

a. Tingkat kematian ditetapkan dalam Parrapoton / Tonggo Raja.

b. Ulos Saput / Tutup Batang Suami dari Tulang-nya, Ulos Tujung/ Sampetua Istri dari Hula – hula.

c. Ulos Saput / Tutup Batang Istri dari Hula – hula, Ulos Tujung/ Sampetua Suami dari Tulangnya.

d. Urutan pelaksanaan : Saput lebih dulu baruTujung (berubah sesuai kondisi).

e. Tingkat kematian Sarimatua, kembali dari makam ada Acara Buka Tujung, bagi yang masih menerima Tujung.

f. Tingkat kematian Saurmatua, kembali dari makam ada Acara Buka Hombung.

g. Suami meninggal, Tulang-nya Siungkap Hombung; Istri meninggal, Hula-hulanya.


PARJAMBARAN DI SUKU BATAK

Pada setiap Acara Adat Pesta Perkawinan dan kematian berjalan Parjambaran, pada

dasarnya sebelum pelaksanaan harus dibicarakan lebih dahulu :

1. PARJAMBARAN DI ACARA ADAT PESTA PERKAWINAN, PANJUHUTI-NYA PINAHAN / SIGAGAT DUHUT.

a. Mengkawinkan anak laki – laki :

- Bila adatnya alap jual : Parjambaran Sidapot Solup na Ro

- Bila adatnya Taruhon Jual :

Osang utuh diparanak, untuk diberikan kepada hula-hula (Sijalo Tintin Marangkup), ihur-ihur (Upa Suhut) diparanak dan diberikan Ulak Tando Parboru,

Somba – somba dan soit dibagi dua dan parngingian (kiri) di Paranak :

(1). Somba – somba untuk Horong Hula-hula dan Tulang Rorobot.

(2). Soit untuk Horong Dongan Tubu, Pariban, Ale-ale, Dongan Sahuta, dll.

(3). Parngingian / Parsanggulan untuk Boru / Bere.

(4). Ikan (dengke) dari Parboru untuk Hasuhuton.

b. Mengawinkan anak Perempuan :

- Bila adatnya Taruhon Jual : Parjambaran Sidapot Solup na Ro.

- Bila adatnya Taruhon Jual :

Osang Utuh di Parboru untuk diberikan ke Hula-hula dan Tulang Rorobot.

Ihur – ihur (Upa Suhut) di Parboru untuk Hasuhuton

Somba – somba dan Soit dibagi dua dan parngingian(kanan) di Parboru :

(1). Somba –somba untuk Horong Hula-hula dan Tulang Rorobot.

(2). Soit untuk Horong Dongan Tubu, Pariban, Ale – ale, Dongan Sahuta, dll.

(3). Parsanggulan / Parngingian untuk Boru / Bere.

2. PARJAMBARAN DI ACARA KEMATIAN SARI / SAURMATUA, BOAN SIGAGAT DUHUT (Contoh) :

Ulaon : Borsak Simonggur.

Hasuhuton : Hutagurgur.

Bona ni Hasuhutin : Tuan Hinalang.

Suhut Bolon : Datu Parulas.

A. DONGANSABUTUHA

1. Panambuli : Anggi Doli Hariara.

2. Pangalapa / Pamultak : Raung Nabolon.

3. Panambak / Sasap : Dongan Tobu.

4. Ihur – ihur / Upa Suhut : Datu Parulas.

5. Uluna / Sipitudai : Jambar Raja (Parsadaan dan Punguan)

Orang biasanya diberikan ke Protokol dan Sitoho-toho.

6. Ungkapan : Haha Doli Suhut Bolon.

7. Gonting : Anggi Doli Suhut Bolon.

B. BORU / BERE / IBEBERE

1 . Tanggalan Rungkung Partogi : Boru ni Prsadaan.

2. Tanggalan Rungkung Mangihut : Boru ni Punguan.

3. Tanggalan Rungkung Bona – bona : Boru Diampuan/Bere – Ibebere.

C. HULA – HULA

1. Tulan Bona : Pangalapan Boru/Hula-hula Tangkas.

2. Tulan Tombuk : Namamupus/Tulang.

3. Somba – somba Siranga : Tulang Rorobot, Bona Tulang, Bona Hula.

Somba – somba Nagok :Bona na ari.

4. Tulan :P arsiat (Hula-hula, Haha Anggi, & Anak Manjae)

D. DONGAN SAHUTA / RAJA NARO.

1. Botohon : Sipukkha Huta/Dongan Sahuta.

2. Ronsangan : Pemerintah setempat.

3. Soit Nagodang : Paariban, Ale-ale, Pangula ni Huria, Partungkoan.

4. Bonian Tondi : Pangalualuan ni Nipi (teman curhat).

5. Sitoho-toho : Surung-surung ni namanggohi adat (orang yang sering datang).

6. Pohu : Penggenapi isi tandok Hula-hula

7. Sohe/Tanggo : Penggenapi jambar yang belum dapat, dan lain-lain.

3. PENJELASAN BENTUK DAN LETAK PARJAMBARAN

A. NAMARMIAK-MIAK (PINAHAN LOBU)

1. Osang-osang : rahang bawah

2. Parngingian : kepala bagian atas

3. Haliang : leher

4. Somba-somba : rusuk

5. Soit : persendian

6. Ihur-ihur/Upa Suhut : bagian belakang sampai ekor

B. SIGAGAT DUHUT

1. Uluna/Sipitu dai : kepala atas dan bawah (tanduk namarngingi dan osang)

2. Panamboli : potongan leher (sambolan)

3. Pangalapa/Pultahan : perut bagian bawah (tempat belah)

4. Panambak/Sasap : pangkal paha depan

5. Ungkapan : pangkal rusuk depan

6. Gonting : pinggul/punggul

7. Upa Suhut / Ihur-ihur : bagian belakang sampai ekor

8. Tanggalan Rungkung : leher (depan sampai dengan badan)

9. TulanG Bona : paha belakang

10. TulanG Tombuk : pangkal paha belakang

11. Somba-somba Siranga : rusuk-rusuk besar

12. Somba-somba Nagok : rusuk paling depan (gelapang)

13. TulanG(soit) : kaki di bawah dengkul

14. Botohon : paha depan

15. Ronsangan : tulang dada ( pertemuan rusuk)

16. Soit Nagodang : persendian

17. Bonian Tondi : pangkal rusuk iga

18. Sitoho-toho : sebagian dari osang bawah

19. Pohu : bagian-bagian kecil

20. Sohe/Tanggo-tanggo : cincangan Si gagat duhut

MANGADATI

Mangadati adalah pelaksanaan ”menerima.membayar” adat perkawinan (marunjuk) yang telah menerima pemberkatan nikah sebelumnya, dimana kedua belah pihak orangtua sepakat, adatnya dilaksanakan kemudian dan atau kawin lari (mangalua) dimana acara ini dilaksanakan pihak pengantin laki-laki ( Paranak). Karena itu ”mangadati” tidak sama dan bukanlah manjalo sulang-sulang ni pohompu.

A. Tahapan yang harus dipenuhi sebelum Mangadati :

1. Pada acara partangiangan (pengucapan syukur) pemberkatan nikah, Paranak wajib mengantar ”Ihur-ihur” kepada pihak pengantin perempuan (Parboru) sebagai bukti bahwa putrinya telah di-paraja (dijadikan istri).

2. Pihak paranak melakukan acara manuruk-nuruk (suruk-suruk) meminta maaf dengan membawa makanan adat kepada pihak Parboru(hula-hula).

3. Pihak Paranak melakukan pemberitahuan rencana ”mangadati” kepada pihak Parboru, dengan membawa makan adat. Acara ini merancang (mangarangrangi) ”Somba ni uhum: (sinamot), ulos herbang, dan yang berkaitan dengan mangadati.

B. Acara ”mangadati” dilaksanakan di tempat pihak Paranak, sehinga pelaksanaan sama dengan pesta adat ”taruhon jual”, yakni pihak Parboru datang dalam rombongan membawa beras, ikan, dan ulos.

C. Parjambaran: ”Sidapotsolup do naro”

MENDAMPINGI, MANGAMAI,MANGAIN

Pengertian umum adalah suatu proses untuk perkawinan campuran antara anaka / boru dengan anak/boru suku/bangsa lain (Marga Sileban), dimana pelaksanaanya dilakukan sesuai dengan adat Batak. Penerapannya dilakukan sesuai tahapan dan aturan masing-masing sebagai berikut :

MENDAMPINGI. Marga Sileban yang berkehendak agar anaknya (pria/wanita) melangsungkan perkawinan adat Batak dengan anak/boru Batak, Marga Sileban cukup meminta kepada satu keluarga Sihombing yang mau mendampingi dengan fungsi sebagai wakil/juru bicara/Raja parhata, dengan demikian :

1. Mendampingi Parboru, Sijalo Sinabot harus Marga Sileban, yang mendampingi hanya menerima uang kehormatan saja.
2. Mendampingi Paranak, Sijalo Ulos Suhi ni Ampang Naopat harus keluarga suku lain (Marga Sileban), yang mendampingi hanya menerima Ulos Pargomgom.
3. Yang mendampingi tidak boleh melakukan Tonggo / Ria Raja dan Papungu Tumpak.

MANGAMAI . Marga Sileban yang berkehendak agar anaknya (pria/wanita) melangsungkan perkawinan adat Batak dengan anak/boru Batak. Marga Sileban harus datang secara adat, membawa makanan na marmiak-miak, memohon kepada keluarga Sihombing yang mau Mangamai dihadapan Dongan Tubu, Boru/Bere, Dongan Sahuta.

Dengan restu hadirin, yang Mangamai mangupa dengan menyatakan kesediaan untuk melaksanakan tahapan adat perkawinan yang dimaksud pihak Marga Sileban, kemudian Marga Sileban memberikan Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada semua hadirin. Sehingga yang diamai dengan yang Mengamai sudah menjadi Dongan Sahundulan yang sifatnya permanen.

Dalam hal Mangamai Paranak, yang menerima ulos diatur sebagai berikut :

Ulos Pansamot : Orangtua kandung Marga Sileban.

Ulos Paramaan : Yang Mangamai.

Ulos Todoan : Marga Sileban atau keluaga yang Mengamai.

Ulos Sihunti Ampang : Boru yang Mengamau atau Marga Sileban.

Ulos seterusnya diatur pembagiannya sesuai dengan kesepakatan.

Tintin Marangkup tetap harus diberikan ke Tulang pengantin pria Marga Sileban.

Dalam hal Mangamai Parboru, yang menerima Sinamot/tuhor diatur sebagai berikut :

Sinamot nagok : Orangtua kandung Marga Sileban.

Paramai : yang Mengamai.

Todoan : Marga Sileban atau yang Mengamai.

Pariban : Boru yang Mengamai atau Boru Marga Sileban.

Upa Tulang harus diberikan kepada Tulang pengantin wanita Marga Sileban.

Panandaion/Sipalas roha diatur pembagiaanya sesuai kesepakatan.

MANGAIN. Marga Sileban yang berkehendak anaknya (wanita) melangsungkan perkawinan adat Batak dengan anak(pria) Batak. Marga Sileban harus datang secara adat, membawa makanan namarmiak-miak, memohon kepada keluarga Sihombing yang mau Mangain dihadapan Dongan Tubu,Boru/bere, Hula-hula/Tulang, Dongan Sahuta.

Tahapan Pelaksanaan:

1. Marga Sileban atau pendampinganya menyerahkan tudu-tudu sipanganon.
2. Marga Sileban menyerahkan putrinya kepada yang Mangain.
3. Yang Mangain, marmeme dan manghopol dengan Ulos Mangain.
4. Hula – hula yang Mangain (Tulangna) memberikan ulos parompa.
5. Marsipanganon.
6. Hata Sigabe-gabe.

Yang Mangain akan menempatkan yang diain pada urutan anggota keluarga yang tidak mengubah Panggoran (buha baju) yang sudah ada. Selanjutnya, keluarga yang Mangain bertanggung jawab melaksanakan kewajiban adat Batak kepada yang diain. Pada acara perkawinan yang diain, yang menerima Sinamot Nagok dan Suhi ni Ampang Naopat adalah yang Mangain dan keluarga. Orangtua kandung marga Sileban menerima Sinamot(panandaion) sebagai penghargaan atau penghormatan.

Pada dasarnya kedudukan Anak atau Boru yang Didampingi, Diamai, Diain, tidak sama, dan tidak punya kaitan apapun dengan ”pewarisan”. Masing masing hanya terbatas pada proses adat yang dilakukan.

MANGANGKAT /MENGADOPSI ANAK UNTUK DAIJADIKAN SEBAGAI ANK ATAU CUCU(PANGGOARI)

Suatu proses seorang anak (pria atau wanita) masuk dalam keluarga menjadi anak/boru, baik karena belum mempunyai keturunan maupun karena suatu hal.

1. Meminta persetujuan Haha/Anggi dan Ito, serta Hulua-hula(sekandung).
2. Mengurus kelengkapan dari catatan sipil.
3. Mengurus babtisan dari gereja.
4. Melakukan pengukuhan secara adat dihadapan :

- Dongan Tubu

- Hula – hula dan Tulang

- Boru / Bere

- Dongan Sahuta

- Raja Bius (Parsadaan dan Punguan)

5. Untuk acara pengukuhan Boru (putri) oleh namarmiak-miak, tetapi untuk pengukuhan anak (putra) sebaiknya sigagat duhut, karena kehadirannya. Selain pewaris juga akan menjadi penerus keturunan.

Tahapan pelaksanaan :

1. Penjelasan tentang tata cara.
2. Pasahat tudu-tudu sipanganon
3. Hula-hula dan Tulang mangupa / marmeme dan memberi Ulos Parompa
4. Marsipanganon
5. Yang Mangangkat menyerahkan Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada semua undangan (Upa Raja Natinonggo).
6. Pasahat Piso-piso dan Pasituak Natonggi kepada hadirin.
7. Hata Sigabe-gabe.

ULOS HERBANG

Ulos Herbang untuk diberikan ke pihak Paranak pada acara perkawinan Boru Sihombing banyaknya 17 (tujuh belas) lembar, bila ada tambahan/titilan Paranak, tidak boleh lebih dari yang disediakan Sihombing dan Ulos Herbang yang akan diterima pada acara perkawinan anak (putra) Sihombing Banyaknya tidak dibatasi. Dalam menentukan banyaknya Ulos Herbang, hendaknya tetap memperhitungkan waktu penyerahan.

CATATAN/PERHATIAN

1. Pada setiap acara adat pesta perkawinan dan kematian yang berhak menerima dan memberikan adat aníllala anggota yang sudah diadati (beradat).

2. Pada kejadian dukacita (mate) di mana statusnya Sarimatua atau Saurmatua, bila boanonnya Sigagat Duhut, tidak boleh lagi dijalankan teken tes.

3. Patokan dan aturan adat ini dalam penerapannya tidak boleh menjadi beban pikiran dan menimbulkan kerugian Suhut Bolon.