Adat dan kepribadian orang Madura merupakan titik tolak
terbentuknya watak dengan prinsip teguh yang dipengaruhi oleh karakteristik
geografis daerahnya. Satu prinsip yang menjadi fenomena orang Madura, ialah
dikenal sebagai orang yang mampu mengambil dan menarik manfaat yang dilakukan
dari hasil budi orang lain, tanpa mengorbankan kepribadiannya sendiri. Demikian
pula orang Madura pada umumnya menghargai dan menjunjung tinggi rasa
solidaritas kepada orang lain.
Sikap hidup semacam ini, menjadikan orang-orang Madura diluar
Madura mudah dikenal, supel serta menunjukkan sikap toleran terhadap sesame.
Kadang kontradiktif bila melihat penampilan fisik bila dibandingkan kenyataan
hidup yang sebenarnya. Sebagai contoh, bila satu rumah tangga kedatangan tamu
(apalagi tamu jauh), dapat dipastikan mereka sangat dihormati. Mereka berani
berkorban untuk menjamu sang tamu, meski hanya secangkir air. Kalaupun dapat,
mereka berusaha memuaskan dengan jamuan lebih, bahkan berani mencari hutang
demi menghormati tamu. Tapi sebaliknya apabila penghargaan itu ditolak atau
meski sedikit tidak mau dicicipi suguhannya, maka tamu tersebut berarti
dianggap menginjak penghargaan tuan rumah. Dan kemungkinan semacam ini akan
tumbuh benih-benih rasa benci dan dendam
Sebagai suku yang hidup di kepualauan, orang Madura dijaman dulu
kurang mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan dunia luar. Mereka sangat
berhati-hati, dan akibatnya sesuatu yang datang dari luar merupakan ancaman
bagi dirinya. Meskipun pada dasarnya mereka konservatif, yakni berusaha
memelihara dan menjamin nilai-nilai yang mengakar dalam dirinya. Tapi dalam
segi yang lain, orang Madura menunjukkan naluri yang kuat untuk menjamin dan
bertahan kelangsungan hidup, karena mereka didorong untuk menerima dan
memanfaatkan nilai-nilai yang terserap dari luar.
Sebagai contoh yang paling gamblang, ketika tentara Bali menerima
kekalahan di Sumenep, mereka dihargai sebagai tamu dan sebagai saudara untuk
kemudian memperkenalkan cara-cara bertani garam. Maka secepat itu orang-orang
setempat menyebarkan keseluruh Madura.
Demikian pula dari kedatangan bangsa Cina ke Madura, banyak
mempengaruhi cara hidup dalam sumber mata pencaharian, khususnya dalam ilmu
berdagang. Hingga dalam bentuk budayapun sangat berpengaruh dalam bentuk gaya
bangunan, sehingga arsitektur bangunan di Madura banyak mirip dengan
bentuk-bentuk bangunan gaya Cina. Pengaruh arsitektur ini pada awalnya dibawa
oleh Lauw Pia Ngo yang membangun Keraton Sumenep dan arsitektur bangunan Masjid
Jamik Sumenep pada jaman pemerintahan Panembahan Sumolo (Tumenggung Ario Noto
Kusumo) tahun 1762-1784 M.
Demikian pula, dengan kedatangan para saudagar Gujarat yang
menyiarkan agama Islam di Madura, mampu dan berhasil mengislamkan para pemimpin
dan bangsawan Madura sampai menyebar keseluruh pelosok Madura. Dengan
bukti-bukti tersebut, maka tidak benar bila watak dan sikap hidup Madura bebal
dan sulit diajak kerja sama. Bahkan sebaliknya, justru mereka lebih akrab,
terbuka dalam kondisi apapuna.
Namun kemungkinan besar, kalaupun terjadi controversial, terletak
pada terputusnya komunikasi bahasa yang orang luar menganggap angkuh dan
bertahan. Padahal sebenarnya, bila seseorang mengenal lebih jauh dan
berkomunikasi lancer dengan orang Madura maka akan sirna bayangan keras dan
bringas itu. Kecuali terhadap pendatang yang congkak, menyinggung perasaan dan
mau merusak harga diri dan hak kepentingannya, maka tak segan-segan mereka akan
berbicara melalui kekerasan. Atau dengan kata lain, meski dengan wajah angker
dan bringas belum tentu berarti berprilaku kasar atau keras. Orang Madura lebih
terbuka.
Satu falsafah yang membebani orang Madura menjadi ramah, taat
tunduk dan sopan, dalam bahasa Madura disebut : Bapa’, Babu’, Guru, Rato (
Bapak, Ibu, Guru, Raja). Rato disini mempunyai pengertian pimpinan atau
pemerintah. Maka tak heran bila di Madura sendiri jarang terjadi “
pemberontakan” yang kaitannya dengan permasalahan kepemiminan, selama rakyat
diperhatikan keberadaannya. Dan mereka akan memberontak bila ketidakadilan
terjadi sebagaimana terjadi pada peristiwa-peristiwa pemberontakan Trunojoyo
dan lainnya.
Di lain hal, guru/kiai bagi orang Madura merupakan tokoh sentral
yang wajib dianut, terutama diwilayah bagian Timur (Pamekasan-Sumenep). Sedang
di wilayah Barat (Bangkalan-Sampang) tokoh sentralnya tidak selalu kiai, bahkan
tokoh kriminalpun kadang menjadi panutan bagi masyarakat tertentu. Maka tak
heran, bila carok kerap terjadi di daerah itu.
Meski demikian, paling tidak kriminalitas dan carok di Madura
banyak mengalami grafik menurun. Hal ini tentu berkat kesigapan dan pembinaan
aparat pemerintah setempat, sehingga keamanan dan ketertiban cukup terjamin.
Dua hal yang mempengaruhi kesadaran masyarakat untuk tidak berbuat criminal,
yang pertama adalah kewibawaan aparat keamanan yang mulai menyatu dengan
masyarakat, dan yang kedua kekompakan masyarakat untuk menghindar dan menjaga
kemungkinan terjadi tindakan criminal serta memelihara keamanan dan ketertiban.
Lalu apa kaitannya, antara watak orang Madura sendiri dengan orang
Madura di Jawa? Bila melihat perkembangan masyarakat Madura, pada tahun
terkahir ini, hamper tidak dapat dibedakan antara orang Madura dengan orang
Madura luar Madura dalam hal perkelahian carok. Sehingga setiap perkelahian
yang menggunakan senjata tajam clurit masyarakat secara langsung mengklaim
perkelahian dilakukan oleh orang Madura.
Perlu dimaklumi, pada permulaan sejarah, Madura banyak diisi oleh
pendatang dari tanah Jawa, maka pada abad-abad berikutnya setelah hutan di
Madura menjadi gundul dan tanahnya menjadi tandus dan gersang, mereka mulai
meninggalkan Madura ke tanah Jawa. Hal ini mengakibatkan tanah di Madura
semakin tidak terurus yang pada akhirnya datanglah masa-masa Madura disebut
sebagai daerah kering dan rawan. Eksodus orang-orang Madura ke tanah Jawa pada
umumnya mendatangi daerah-daerah pesisir bagian timur di Jawa Timur dan
menyebar nulai dari Gresik sampai ke Banyuwangi sebagai nelayan dan pedagang.
Kemudian pada periode berikutnya mulai merambah kedaerah pegunungan sebagai
petani.
Daerah pantai Jawa Timur yang menjadi sasaran mulai dari pantai
Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Besuki, Situbondo, dan
Banyuwangi. Sedang daerah pertanian yang menjadi sasaran mulai dari Bondowoso,
Banyuwangi hingga Lumajang sampai perbatasan Malang. Jadi tak heran bila
daerah-daerah tersebut, khususnya bagian wilayah timur bahasa daerahnya
menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa sehari-hari.
Dalam hal pertanian, petani Madura memang lebih rajin dan ulet
dibanding petani Jawa sendiri. Rajin dan keuletan inilah banyak member
kesempatan kepada pendatang orang asal Madura lebih leluasa membuka lahan
pertanian di Jawa. Hal ini disebabkan, cara kerja mereka yang semula berhadapan
dengan tanah tandus, lalu beralihlah ke tanah yang subur, maka semakin
bergairah. Maka tak heran bila pendatang Madura di daerah itu banyak yang
berhasil, bahkan sebagian besar menjadi tuan tanah.
Pada perkembangan berikutnya dari eksodus orang-orang Madura
tersebut ke tanah Jawa semakin menyatu dan merasakan tanah baru itu merupakan
tanah kelahiran kedua setelah tanah kelahiran nenek miyangnya, Madura. Dan pada
gilirannya, justru orang-orang Jawa sendiri nyaris malah dianggap sebagai
pendatang.
Secara cultural, pada dasarnya mereka eksodus ke tanah Jawa tidak
ada perbedaan dari kultur yang dibawanya. Hal ini dapat dilihat dari
adat-istiadat dan sikap hidup yang hamper serupa dengan daerah asalnya. Kalau
terjadi perubahan hanya terbatas pada hal-hal tertentu, yaitu dalam bentuk
fisiknya saja. Meski demikian, masyarakat Jawa yang menyatu dengan kultur
Madura, belum berarti memiliki sanak keluarga di Madura. Yang demikian itu
merupakan salah satu bentuk perkembangan yang tidak dapat dielakkan, yang
mungkin dengan terputusnya komunikasi antara Jawa dan Madura. Akan menjadikan
pemisahan suku, meski pada awalnya terbentuk dari suku Madura.
Untuk menghindari terputusnya hubungan tersebut, tradisi
perkumpulan silaturahmi masyarakat Madura di tanah Jawa perlu
dilestarikan (Lontar Madura)
artikelnya dangkal alias gak mutu
BalasHapus