PESTA Kesenian Bali (PKB) yang diarsiteki
Prof. Dr. Ida Bagus Mantra memang lebih dari sekadar sebuah ide cerdas. Gelaran
budaya ini memang sebuah strategi kebudayaan yang penuh perhitungan dari
seorang pemikir kebudayaan yang kebetulan saat itu menjabat Gubernur Bali.
Betapa tidak, PKB digarap pada awal masa kepemimpinan Mantra. Artinya, Mantra
memang menempatkan kebudayaan sebagai landasan dasar pembangunan Bali.
Seperti tercantum dalam bukunya berjudul, Landasan Kebudayaan Bali, Mantra meniatkan PKB sebagai sebuah upaya penggalian semua potensi budaya tradisi Bali untuk dilestarikan dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan dan kemajuan, melalui revitalisasi, kegiatan menghidupkan kembali unsur-unsur yang potensial, sehingga tradisi yang luhur ikut serta dalam upaya-upaya pembangunan sebagai pendorong yang menjiwainya. Dalam pesta seni, semua pihak akan dapat menyajikan perkembangan hasil-hasil karyanya sehingga mereka dapat menempati kedudukan yang sama dalam kemajuan.
Seperti tercantum dalam bukunya berjudul, Landasan Kebudayaan Bali, Mantra meniatkan PKB sebagai sebuah upaya penggalian semua potensi budaya tradisi Bali untuk dilestarikan dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan dan kemajuan, melalui revitalisasi, kegiatan menghidupkan kembali unsur-unsur yang potensial, sehingga tradisi yang luhur ikut serta dalam upaya-upaya pembangunan sebagai pendorong yang menjiwainya. Dalam pesta seni, semua pihak akan dapat menyajikan perkembangan hasil-hasil karyanya sehingga mereka dapat menempati kedudukan yang sama dalam kemajuan.
Tujuan PKB ini
kemudian diterjemahkan penyelenggara dengan kegiatan penggalian, pelestarian
dan pengembangan kesenian Bali pada khususnya dan kebudayaan Bali pada umumnya.
Seni-seni tradisi yang langka ditampilkan kembali, direvitalisasi untuk
membangkitkan kesadaran masyarakat guna memelihara dan melestarikan seni
tradisi tersebut. Selain itu, upaya mengasah daya kreasi, mencipta karya-karya
seni baru dan bermutu dibangkitkan. Muaranya, kesenian Bali bisa terus
berkembang dan semakin kaya tentunya.
Namun, selama 30 tahun
perjalanannya, PKB lebih cenderung menjadi sebuah ajang pentas semata. PKB
belum secara utuh bisa menerjemahkan aspek penggalian, pelestarian dan
pengembangan kebudayaan Bali. Kegiatan penggalian, pelestarian dan pengembangan
seyogyanya bukan sekadar sebuah upaya menghadirkan kembali. Namun juga sebuah
upaya untuk merevitalisasi, menghidupkan kembali. Dan, menghidupkan kembali
bukan untuk mati lagi, tetapi bisa tetap hidup, bahkan berkembang.
Dalam kaitan ini, dokumentasi menjadi hal yang amat penting. Dokumentasi bukan sekadar upaya untuk mengabadikan, tetapi lebih jauh dari itu adanya upaya penelitian, pemetaan dan pengkajian. Bagian ini, tampaknya belum mendapat perhatian besar dari penyelenggara PKB.
Dalam kaitan ini, dokumentasi menjadi hal yang amat penting. Dokumentasi bukan sekadar upaya untuk mengabadikan, tetapi lebih jauh dari itu adanya upaya penelitian, pemetaan dan pengkajian. Bagian ini, tampaknya belum mendapat perhatian besar dari penyelenggara PKB.
Selain memberikan kesempatan
kepada seni-seni tradisi maupun modern untuk tampil, patut juga dilakukan
penelitian, pemetaan dan pengkajian atas produk kesenian tersebut. Selanjutnya,
hasil penelitian, pemetaan dan pengkajian itu didokumentasikan secara lengkap
dan utuh, baik dalam bentuk cetak (buku) maupun dalam bentuk dokumen
audio-visual (film, kaset, foto dan sejenisnya).
Dokumentasi semacam
ini amat berharga, tidak saja bagi orang Bali, tetapi juga orang luar (asing)
yang hendak belajar kebudayaan Bali. Dengan dokumentasi yang baik, Bali tidak
perlu lagi merengek-rengek meminta izin kepada negara asing untuk belajar
kebudayaannya sendiri seperti yang selama ini terjadi.
Saya mendambakan saban pelaksanaan PKB penyelenggara menyediakan anggaran dan ruang bagi para peneliti, pengamat dan praktisi seni dan kebudayaan Bali untuk melakukan penelitian, penggalian, pemetaan, pengkajian serta pendokumentasian kebudayaan Bali. Selanjutnya, dokumentasi dari kerja budaya itu bisa diakses oleh publik. Tentu saja, kerja pendokumentasian seperti ini membutuhkan dana yang besar serta waktu yang lama. Karena itu, dalam setiap pelaksanaan PKB, cukup dipilih salah satu jenis kesenian atau tradisi budaya yang dimiliki masyarakat Bali. Misalnya, untuk PKB tahun 2009 mendatang, pendokumentasian difokuskan untuk kesenian Tari Sanghyang. Maka, dari sekarang kegiatan penggalian dan penelitian sudah dilakukan. Jenis-jenis Tari Sanghyang yang ada diinvetarisasi, diklasifikasi dan dipetakan secara jelas dan lengkap. Selanjutnya, dalam PKB 2009, hasil penelitian itu dikaji dalam suatu seminar khusus. Seminar ini tidak saja untuk mengkaji dari aspek keilmuan, tetapi juga mendapatkan masukan dari masyarakat dan seniman. Selain itu, tentu saja dirumuskan strategi pelestarian dan pengembangan kesenian tersebut. Setelah itu, barulah didokumentasikan dalam bentuk buku atau pun film. Tahun-tahun selanjutnya, langkah serupa juga seyogyanya diterapkan.
Saya mendambakan saban pelaksanaan PKB penyelenggara menyediakan anggaran dan ruang bagi para peneliti, pengamat dan praktisi seni dan kebudayaan Bali untuk melakukan penelitian, penggalian, pemetaan, pengkajian serta pendokumentasian kebudayaan Bali. Selanjutnya, dokumentasi dari kerja budaya itu bisa diakses oleh publik. Tentu saja, kerja pendokumentasian seperti ini membutuhkan dana yang besar serta waktu yang lama. Karena itu, dalam setiap pelaksanaan PKB, cukup dipilih salah satu jenis kesenian atau tradisi budaya yang dimiliki masyarakat Bali. Misalnya, untuk PKB tahun 2009 mendatang, pendokumentasian difokuskan untuk kesenian Tari Sanghyang. Maka, dari sekarang kegiatan penggalian dan penelitian sudah dilakukan. Jenis-jenis Tari Sanghyang yang ada diinvetarisasi, diklasifikasi dan dipetakan secara jelas dan lengkap. Selanjutnya, dalam PKB 2009, hasil penelitian itu dikaji dalam suatu seminar khusus. Seminar ini tidak saja untuk mengkaji dari aspek keilmuan, tetapi juga mendapatkan masukan dari masyarakat dan seniman. Selain itu, tentu saja dirumuskan strategi pelestarian dan pengembangan kesenian tersebut. Setelah itu, barulah didokumentasikan dalam bentuk buku atau pun film. Tahun-tahun selanjutnya, langkah serupa juga seyogyanya diterapkan.
Bila langkah ini bisa
dilakukan setiap pelaksanaan PKB, maka kekayaan seni dan budaya Bali akan bisa
terselamatkan. Kita bisa dengan mudah mendapatkan informasi yang lengkap, jelas
dan tuntas mengenai kebudayaan Bali. Yang tak kalah pentingnya, generasi muda
Bali akan dengan mudah memeriksa kekayaan seni dan budayanya dan diharapkan
muncul kesadaran budaya untuk memikul tanggung jawab mengembangkan
kebudayaannya. Bukankah PKB pada awalnya memang diniatkan sebagai media
transformasi budaya kepada generasi muda Bali sehingga jadwal pelaksanaannya dipilih
saat masa liburan sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar