Jumat, 08 Februari 2013

Hilangnya "Cokot", Diingkarinya "Wayan"



Membincang Penggunaan Nama Khas Bali

HINGGA
 akhir tahun 80-an, mungkin tidak begitu sulit untuk mengenali orang Bali yang beragama Hindu. Cukup dengan melihat nama depannya, bila menggunakan Putu, Wayan, Made, Nengah, Nyoman atau Ketut, sudah bisa disimpulkan bahwa orang itu merupakan orang Bali. Begitu juga nama Ida Bagus, Ida Ayu, I Gusti, Desak, Anak Agung merupakan penanda identitas orang Bali dari golongan berkasta. Namun, kini mengenali orang Bali tak lagi semudah itu, tak lagi bisa hanya dengan melihat nama depannya. Pasalnya, tidak sedikit orang Bali beragama Hindu kini yang sudah tidak lagi menggunakan nama-nama depan khas semacam itu. Orang Bali sudah mulai menganggap bukan suatu keharusan untuk menggunakan nama Wayan di depan nama pokok anak pertamanya atau pun Made untuk anak keduanya. Malah, kecenderungan dua dasa warsa terakhir, tradisi warisan leluhur ini sudah mulai diingkari, mulai ditinggalkan.
-------------------------------

PUTU Edi Robin, seorang bapak muda asli Bali dengan amat sadar tidak lagi mengimbuhi nama depan khas Bali pada nama pokok dua orang anaknya. Putri pertamanya yang kini berusia lima tahun diberi nama Istacy Rosree Octivany Robin serta putra keduanya yang berusia dua tahun diberi nama Krisna Pratama Putra Robin. Tak ada nama depan Wayan atau Made. 

Alasan Robin mengingkari tradisi pemberian nama depan ini semata-mata ingin melakukan perombakan terhadap apa yang sudah mapan. Bagi lelaki asal Buleleng, Bali Utara --daerah yang dikenal sebagai tempat pertama membiaknya desakralisasi kultur Bali-- Bali mesti mengikuti kecenderungan dunia yang semakin mengglobal. Salah satunya bisa dimulai dengan membebaskan diri dari keterikatan penanda verbal identitas lokal yakni nama. 

Robin bukanlah generasi pertama keluarga Bali yang mulai tidak mematuhi tradisi pemberian nama depan khas Bali itu. Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Prof. Dr. I Nyoman Erawan, S.E. (56), juga tidak lagi menyertakan nama depan khas Bali dalam nama anak-anaknya. Dari empat orang anaknya, semuanya langsung menunjuk kepada nama pokok yakni, Ngurah Indra, Mahendrawathi, Ngurah Agus Sanjaya serta Sukma Dewi. 

Nama-nama depan khas Bali itu sejatinya tidak lebih sebagai semacam penanda urutan kelahiran sang anak, dari pertama hingga keempat. Wayan diambil dari kata wayahan (tertua) sehingga digunakan sebagai nama depan untuk anak pertama. Selain Wayan, nama depan untuk anak pertama juga kerap kali digunakan Putu atau Gede. Dua nama ini biasanya digunakan oleh orang Bali di belahan utara dan barat, sedangkan di Bali Timur dan Selatan cenderung memilih nama Wayan. 

Sementara itu, Made diambil dari kata madya (tengah) sehingga digunakan sebagai nama depan anak kedua. Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga kerap diberi nama depan Nengah yang juga diambil dari kata tengah. Anak ketiga biasanya diberikan nama depan Nyoman atau Komang yang konon diambil dari kata nyeman (lebih tawar). Khusus untuk nama Nyoman ini konon mengambil perbandingan kepada lapisan kulit pohon pisang, di mana ada bagian yang selapis sebelum kulit terluar yang rasanya cukup tawar. Terakhir, anak keempat diberikan nama depan Ketut yang diambil dari kata ngetut (mengikuti atau mengekor). Bila keluarga Bali memiliki anak lebih dari empat, nama depan untuk anak kelima dan seterusnya mengulang kembali nama-nama depan sebelumnya sesuai urutannya. 

Tidak jelas benar, kapan tadisi pemberian nama depan ini mulai muncul di Bali. Yang pasti, menurut pakar linguistik dari Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. (63), nama depan itu ditemukan muncul pada abad ke-14 yang dipakai oleh raja Gelgel saat itu bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang kemudian dilanjutkan putranya, Dalem Ketut Ngulesir. Dalem Ketut Kresna Kepakisan merupakan putra keempat dari Sri Kresna Kepakisan yang dinobatkan mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai penguasa perpanjangan tangan Majapahit di Bali. 

Namun, Jendra belum berani memastikan apakah hal itu berarti tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Yang jelas, hal ini terpelihara sebagai tradisi yang cukup lama. Masyarakat Bali hingga akhir abad XX masih tunduk menggunakannya hingga akhirnya menjadi semacam ciri khas untuk membedakan orang Bali dengan orang luar Bali, sebelum akhirnya secara perlahan mulai bergeser, tidak lagi ditaati secara ketat oleh orang Bali.

Pengingkaran ini sejatinya telah dimulai ketika nama-nama pokok yang mengikuti nama depan orang Bali juga mulai bergeser. Dahulu, nama-nama yang mengikuti nama depan itu amatlah khas seperti Cokot, Reneng, Lempad, Sadru, Gejer dan lainnya. Rata-rata nama-nama itu diambil dari istilah keseharian atau pun fenomena-fenomena alam yang menyrtai kelahiran sang bayi. Terkadang pula, pilihan nama pokok itu amat sederhana dengan hanya mengubah vokal suku kata anak pertama agar mudah diingat seperti Saplag, Sapleg, Suplig atau Saplig. 

Nama-nama unik dan otentik itu lebih menunjukkan respons orang Bali terhadap alam. Nama-nama yang digunakan memang dipilih berdasarkan fenomena alam yang menyertai kelahiran sang anak atau terkadang pengharapan sang orangtua terhadap anaknya kelak.
Namun, seiring perkembangan dunia yang begitu cepat, orang Bali pun memberi respons, salah satunya dengan pemberian nama anak-anaknya. Ketika perkembangan dunia menunjukkan kecenderungan mengglobal dengan titik orientasi ke dunia Barat, respons orang Bali dalam bentuk nama pun turut mengikuti. Maka, kemudian muncullah nama-nama yang berbau modern seperti Putu Desy Fridayanti, Made David Eka Putra atau pun Komang Diva Ananda. Secara ekstrem, perkembangan ini kemudian berpuncak kepada mulai ditanggalkannya nama-nama depan khas Bali itu.

Ada beberapa faktor penyebab mulai ditinggalkannya pemakaian nama depan khas Bali. Faktor pertama, sikap orang Bali yang malu sebagai minoritas. Dengan menggunakan nama khas Bali amat memperjelas mereka sebagai orang Bali. Sedangkan di Indonesia, kelompok minoritas termasuk orang Bali kerap kali sulit untuk bisa tampil di jajaran pemerintahan atau pun swasta di tingkat nasional. Agar tidak lagi ada penghalang untuk bersaing, maka orang-orang Bali menanggalkan nama-nama tradisi itu. 

Hal ini juga menjadi salah satu motivasi Putu Edi Robin tidak lagi menggunakan nama depan khas Bali untuk nama anak-anaknya. Mantan mahasiswa aktivis ini mengungkapkan, bila sudah diketahui sebagai orang Bali, tidak jarang orang Bali sudah langsung disingkirkan sebelum bersaing. ''Kita mesti jujur mengakui, masalah minoritas dan mayoritas di Indonesia belum sepenuhnya bisa didamaikan,'' kata aktivis Hindu ini. 

Memang, sejumlah orang Bali yang sukses di Jakarta kerap kali menuliskan namanya tanpa nama depan khas Bali. Sekjen Mahkamah Konstitusi, Anak Agung Oka Mahendra hanya menulis namanya dengan Oka Mahendra. Begitu juga penulis novel dan penyair Ida Ayu Oka Rusmini hanya menuliskan namanya dengan Oka Rusmini, begitu juga wartawan senior Raka Santeri, gitaris kondang Dewa Budjana serta penyanyi muda Saras Dewi. Meski begitu, ada juga orang-orang Bali yang meski masih menggunakan nama depan khas Bali namun tetap bisa sukses di persaingan nasional. Wartawan senior Putu Setia tetap percaya diri menuliskan nama Putu, sastrawan Putu Wijaya, Putu Gde Ary Suta serta sejumlah nama lainnya lagi. 

Selain motivasi ingin mengglobal, pergeseran dalam penggunaan nama orang Bali itu juga sebagai cermin perlawanan terhadap kasta. Munculnya semacam keberanian orang Bali dari golongan Jaba (yang diidentikkan sebagai kasta terendah) memakai nama Bagus atau Ngurah sebagai nama depan anaknya. Ada orang Bali kini menggunakan nama I Ngurah Suryawan, Bagus Antara atau pun Agung Mirah Prayoga. Padahal, dalam tradisi orang Bali, nama-nama Ngurah, Bagus atau Agung ''hanya boleh'' digunakan orang-orang dari golongan berkasta. 

Selama ini, kalau seseorang sudah menggunakan nama depan Made, Komang atau Ketut, bisa dipastikan sebagai orang Jaba-kecuali untuk kelompok Brahmana di desa Buda Keling, Karangasem yang masih mempertahankan tradisi pemakaian nama Ida Wayan, Ida Made dan seterusnya. Ketika terjadi perlawanan terhadap kasta, tumbuh kecenderungan untuk meninggalkannya agar tidak lagi ada sekat-sekat kasta. 

Menariknya, manakala orang Bali-Hindu sendiri mulai tidak lagi tertarik mempertahankan tradisi pemakian nama-nama depan khasnya, orang lain yakni orang non-Hindu yang tinggal di Bali termasuk orang asing justru menggunakannya dengan bangga. Orang-orang Islam di desa Pegayaman, Buleleng justru memelihara tradisi menggunakan nama khas Bali ini, sehingga muncul nama Ketut Syahruwardi Abbas,I Nengah Ibrahami atau pun Made Mohammad Saleh. Begitu juga orang-orang Kristen di Bali yang dengan bangga menggunakan nama Wayan Yusuf, Fransiscus Made Agus Hanzantha dan lainnya. 

Bahkan, orang-orang asing tanpa merasa malu, kuno atau kalah bersaing malah memburu nama-nama khas Bali itu. Sejarah Bali mencatat dengan jelas seorang wanita asal Skotlandia, Vanina Walker yang memperkenalkan kemolekan Pulau Bali sehingga sangat cocok sebagai daerah tujuan wisata dengan bangga menggunakan nama Ketut Tantri dalam bukunya, Revolusi di Nusa Damai.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar