Membincang Penggunaan
Nama Khas Bali
HINGGA akhir tahun 80-an, mungkin tidak begitu sulit untuk mengenali orang Bali yang beragama Hindu. Cukup dengan melihat nama depannya, bila menggunakan Putu, Wayan, Made, Nengah, Nyoman atau Ketut, sudah bisa disimpulkan bahwa orang itu merupakan orang Bali. Begitu juga nama Ida Bagus, Ida Ayu, I Gusti, Desak, Anak Agung merupakan penanda identitas orang Bali dari golongan berkasta. Namun, kini mengenali orang Bali tak lagi semudah itu, tak lagi bisa hanya dengan melihat nama depannya. Pasalnya, tidak sedikit orang Bali beragama Hindu kini yang sudah tidak lagi menggunakan nama-nama depan khas semacam itu. Orang Bali sudah mulai menganggap bukan suatu keharusan untuk menggunakan nama Wayan di depan nama pokok anak pertamanya atau pun Made untuk anak keduanya. Malah, kecenderungan dua dasa warsa terakhir, tradisi warisan leluhur ini sudah mulai diingkari, mulai ditinggalkan.
-------------------------------
PUTU Edi Robin, seorang bapak muda asli Bali dengan amat sadar tidak lagi mengimbuhi nama depan khas Bali pada nama pokok dua orang anaknya. Putri pertamanya yang kini berusia lima tahun diberi nama Istacy Rosree Octivany Robin serta putra keduanya yang berusia dua tahun diberi nama Krisna Pratama Putra Robin. Tak ada nama depan Wayan atau Made.
HINGGA akhir tahun 80-an, mungkin tidak begitu sulit untuk mengenali orang Bali yang beragama Hindu. Cukup dengan melihat nama depannya, bila menggunakan Putu, Wayan, Made, Nengah, Nyoman atau Ketut, sudah bisa disimpulkan bahwa orang itu merupakan orang Bali. Begitu juga nama Ida Bagus, Ida Ayu, I Gusti, Desak, Anak Agung merupakan penanda identitas orang Bali dari golongan berkasta. Namun, kini mengenali orang Bali tak lagi semudah itu, tak lagi bisa hanya dengan melihat nama depannya. Pasalnya, tidak sedikit orang Bali beragama Hindu kini yang sudah tidak lagi menggunakan nama-nama depan khas semacam itu. Orang Bali sudah mulai menganggap bukan suatu keharusan untuk menggunakan nama Wayan di depan nama pokok anak pertamanya atau pun Made untuk anak keduanya. Malah, kecenderungan dua dasa warsa terakhir, tradisi warisan leluhur ini sudah mulai diingkari, mulai ditinggalkan.
-------------------------------
PUTU Edi Robin, seorang bapak muda asli Bali dengan amat sadar tidak lagi mengimbuhi nama depan khas Bali pada nama pokok dua orang anaknya. Putri pertamanya yang kini berusia lima tahun diberi nama Istacy Rosree Octivany Robin serta putra keduanya yang berusia dua tahun diberi nama Krisna Pratama Putra Robin. Tak ada nama depan Wayan atau Made.
Alasan Robin
mengingkari tradisi pemberian nama depan ini semata-mata ingin melakukan
perombakan terhadap apa yang sudah mapan. Bagi lelaki asal Buleleng, Bali Utara
--daerah yang dikenal sebagai tempat pertama membiaknya desakralisasi kultur
Bali-- Bali mesti mengikuti kecenderungan dunia yang semakin mengglobal. Salah
satunya bisa dimulai dengan membebaskan diri dari keterikatan penanda verbal
identitas lokal yakni nama.
Robin bukanlah
generasi pertama keluarga Bali yang mulai tidak mematuhi tradisi pemberian nama
depan khas Bali itu. Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Prof. Dr.
I Nyoman Erawan, S.E. (56), juga tidak lagi menyertakan nama depan khas Bali
dalam nama anak-anaknya. Dari empat orang anaknya, semuanya langsung menunjuk
kepada nama pokok yakni, Ngurah Indra, Mahendrawathi, Ngurah Agus Sanjaya serta
Sukma Dewi.
Nama-nama depan khas
Bali itu sejatinya tidak lebih sebagai semacam penanda urutan kelahiran sang
anak, dari pertama hingga keempat. Wayan diambil dari kata wayahan (tertua)
sehingga digunakan sebagai nama depan untuk anak pertama. Selain Wayan, nama
depan untuk anak pertama juga kerap kali digunakan Putu atau Gede. Dua nama ini
biasanya digunakan oleh orang Bali di belahan utara dan barat, sedangkan di
Bali Timur dan Selatan cenderung memilih nama Wayan.
Sementara itu, Made
diambil dari kata madya (tengah) sehingga digunakan sebagai nama depan anak kedua.
Di beberapa daerah di Bali, anak kedua juga kerap diberi nama depan Nengah yang
juga diambil dari kata tengah. Anak ketiga biasanya diberikan nama depan Nyoman
atau Komang yang konon diambil dari kata nyeman (lebih tawar). Khusus untuk
nama Nyoman ini konon mengambil perbandingan kepada lapisan kulit pohon pisang,
di mana ada bagian yang selapis sebelum kulit terluar yang rasanya cukup tawar.
Terakhir, anak keempat diberikan nama depan Ketut yang diambil dari kata ngetut
(mengikuti atau mengekor). Bila keluarga Bali memiliki anak lebih dari empat,
nama depan untuk anak kelima dan seterusnya mengulang kembali nama-nama depan
sebelumnya sesuai urutannya.
Tidak jelas benar,
kapan tadisi pemberian nama depan ini mulai muncul di Bali. Yang pasti, menurut
pakar linguistik dari Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan
Jendra, S.U. (63), nama depan itu ditemukan muncul pada abad ke-14 yang dipakai
oleh raja Gelgel saat itu bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang kemudian
dilanjutkan putranya, Dalem Ketut Ngulesir. Dalem Ketut Kresna Kepakisan
merupakan putra keempat dari Sri Kresna Kepakisan yang dinobatkan mahapatih
Majapahit, Gajah Mada, sebagai penguasa perpanjangan tangan Majapahit di
Bali.
Namun, Jendra belum
berani memastikan apakah hal itu berarti tradisi pemberian nama depan itu
sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Yang jelas, hal ini terpelihara sebagai
tradisi yang cukup lama. Masyarakat Bali hingga akhir abad XX masih tunduk
menggunakannya hingga akhirnya menjadi semacam ciri khas untuk membedakan orang
Bali dengan orang luar Bali, sebelum akhirnya secara perlahan mulai bergeser,
tidak lagi ditaati secara ketat oleh orang Bali.
Pengingkaran ini
sejatinya telah dimulai ketika nama-nama pokok yang mengikuti nama depan orang
Bali juga mulai bergeser. Dahulu, nama-nama yang mengikuti nama depan itu
amatlah khas seperti Cokot, Reneng, Lempad, Sadru, Gejer dan lainnya. Rata-rata
nama-nama itu diambil dari istilah keseharian atau pun fenomena-fenomena alam
yang menyrtai kelahiran sang bayi. Terkadang pula, pilihan nama pokok itu amat
sederhana dengan hanya mengubah vokal suku kata anak pertama agar mudah diingat
seperti Saplag, Sapleg, Suplig atau Saplig.
Nama-nama unik dan
otentik itu lebih menunjukkan respons orang Bali terhadap alam. Nama-nama yang
digunakan memang dipilih berdasarkan fenomena alam yang menyertai kelahiran
sang anak atau terkadang pengharapan sang orangtua terhadap anaknya
kelak.
Namun, seiring perkembangan dunia yang begitu cepat, orang Bali pun memberi respons, salah satunya dengan pemberian nama anak-anaknya. Ketika perkembangan dunia menunjukkan kecenderungan mengglobal dengan titik orientasi ke dunia Barat, respons orang Bali dalam bentuk nama pun turut mengikuti. Maka, kemudian muncullah nama-nama yang berbau modern seperti Putu Desy Fridayanti, Made David Eka Putra atau pun Komang Diva Ananda. Secara ekstrem, perkembangan ini kemudian berpuncak kepada mulai ditanggalkannya nama-nama depan khas Bali itu.
Namun, seiring perkembangan dunia yang begitu cepat, orang Bali pun memberi respons, salah satunya dengan pemberian nama anak-anaknya. Ketika perkembangan dunia menunjukkan kecenderungan mengglobal dengan titik orientasi ke dunia Barat, respons orang Bali dalam bentuk nama pun turut mengikuti. Maka, kemudian muncullah nama-nama yang berbau modern seperti Putu Desy Fridayanti, Made David Eka Putra atau pun Komang Diva Ananda. Secara ekstrem, perkembangan ini kemudian berpuncak kepada mulai ditanggalkannya nama-nama depan khas Bali itu.
Ada beberapa faktor
penyebab mulai ditinggalkannya pemakaian nama depan khas Bali. Faktor pertama,
sikap orang Bali yang malu sebagai minoritas. Dengan menggunakan nama khas Bali
amat memperjelas mereka sebagai orang Bali. Sedangkan di Indonesia, kelompok
minoritas termasuk orang Bali kerap kali sulit untuk bisa tampil di jajaran
pemerintahan atau pun swasta di tingkat nasional. Agar tidak lagi ada
penghalang untuk bersaing, maka orang-orang Bali menanggalkan nama-nama tradisi
itu.
Hal ini juga menjadi
salah satu motivasi Putu Edi Robin tidak lagi menggunakan nama depan khas Bali
untuk nama anak-anaknya. Mantan mahasiswa aktivis ini mengungkapkan, bila sudah
diketahui sebagai orang Bali, tidak jarang orang Bali sudah langsung
disingkirkan sebelum bersaing. ''Kita mesti jujur mengakui, masalah minoritas
dan mayoritas di Indonesia belum sepenuhnya bisa didamaikan,'' kata aktivis
Hindu ini.
Memang, sejumlah orang
Bali yang sukses di Jakarta kerap kali menuliskan namanya tanpa nama depan khas
Bali. Sekjen Mahkamah Konstitusi, Anak Agung Oka Mahendra hanya menulis namanya
dengan Oka Mahendra. Begitu juga penulis novel dan penyair Ida Ayu Oka Rusmini
hanya menuliskan namanya dengan Oka Rusmini, begitu juga wartawan senior Raka
Santeri, gitaris kondang Dewa Budjana serta penyanyi muda Saras Dewi. Meski
begitu, ada juga orang-orang Bali yang meski masih menggunakan nama depan khas
Bali namun tetap bisa sukses di persaingan nasional. Wartawan senior Putu Setia
tetap percaya diri menuliskan nama Putu, sastrawan Putu Wijaya, Putu Gde Ary
Suta serta sejumlah nama lainnya lagi.
Selain motivasi ingin
mengglobal, pergeseran dalam penggunaan nama orang Bali itu juga sebagai cermin
perlawanan terhadap kasta. Munculnya semacam keberanian orang Bali dari
golongan Jaba (yang diidentikkan sebagai kasta terendah) memakai nama Bagus atau
Ngurah sebagai nama depan anaknya. Ada orang Bali kini menggunakan nama I
Ngurah Suryawan, Bagus Antara atau pun Agung Mirah Prayoga. Padahal, dalam
tradisi orang Bali, nama-nama Ngurah, Bagus atau Agung ''hanya boleh''
digunakan orang-orang dari golongan berkasta.
Selama ini, kalau
seseorang sudah menggunakan nama depan Made, Komang atau Ketut, bisa dipastikan
sebagai orang Jaba-kecuali untuk kelompok Brahmana di desa Buda Keling,
Karangasem yang masih mempertahankan tradisi pemakaian nama Ida Wayan, Ida Made
dan seterusnya. Ketika terjadi perlawanan terhadap kasta, tumbuh kecenderungan
untuk meninggalkannya agar tidak lagi ada sekat-sekat kasta.
Menariknya, manakala
orang Bali-Hindu sendiri mulai tidak lagi tertarik mempertahankan tradisi
pemakian nama-nama depan khasnya, orang lain yakni orang non-Hindu yang tinggal
di Bali termasuk orang asing justru menggunakannya dengan bangga. Orang-orang
Islam di desa Pegayaman, Buleleng justru memelihara tradisi menggunakan nama
khas Bali ini, sehingga muncul nama Ketut Syahruwardi Abbas,I Nengah Ibrahami
atau pun Made Mohammad Saleh. Begitu juga orang-orang Kristen di Bali yang
dengan bangga menggunakan nama Wayan Yusuf, Fransiscus Made Agus Hanzantha dan
lainnya.
Bahkan, orang-orang
asing tanpa merasa malu, kuno atau kalah bersaing malah memburu nama-nama khas
Bali itu. Sejarah Bali mencatat dengan jelas seorang wanita asal Skotlandia,
Vanina Walker yang memperkenalkan kemolekan Pulau Bali sehingga sangat cocok
sebagai daerah tujuan wisata dengan bangga menggunakan nama Ketut Tantri dalam
bukunya, Revolusi di Nusa Damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar