Tidak saja pada may day (Hari buruh), buruh dapat
mengekspresikan harapan hidupnya di hari-hari lain. Harapan itu tidak lain
adalah masalah peningkatan kesejahteraan baik melalui kenaikan penghasilan
maupun lewat perubahan status dari pekerja kontrak menjadi pekerja tetap.
Persoalannya adalah harapan itu, cenderung berbeda dengan harapan si pemberi
kerja dan belum terakomudirnya harapan tersebut di dalam pola pikir/mindset
pemerintah sebagai pembuat kebijakan hubungan antara si pekerja dan pemberi
kerja.
Kenyataan ini, telah berlangsung sejak lama sehingga
dianggap sebagai sesuatu yang "lazim" dan tidak membutuhkan suatu
solusi yang harus dicari dan dikelola secara inten oleh pihak yang memiliki
kompetensi dan kapasitas untuk melahirkan suatu solusi. Bahkan, di
masing-masing daerah yang telah memiliki sebuah lembaga yang mengkhususkan diri
untuk mengurusi masalah pengupahan buruh pun, tidak mampu mewujudkan harapan
buruh tersebut.
Jika demikian adanya, maka timbul pertanyaan di benak kita.
Apa sebenarnya yang terjadi meskipun antara buruh, pengusaha, dan pemerintah
sama-sama menginginkan agar buruh memiliki kehidupan yang layak? Dimana,
akhirnya buruh dapat bekerja secara tenang dan dapat pula meningkatkan
kinerjanya seperti yang diharapkan oleh pengusaha dan pemerintah.
Sumber Konflik Perburuhan
Dasarnya, persoalan buruh itu sama seperti
persoalan-persoalan lainnya yaitu tentang kesejahteraan. Artinya, tidak hanya
si buruh yang mempersoalkan masalah tersebut. Tetapi, seluruh komponen
masyarakat termasuk usahawan, mereka yang berprofesi sebagai PNS (Pegawai
Negeri Sipil), dan lain sebagainya, juga bicara tentang kesejahteraan. Kalaulah
seperti ini persoalannya maka apakah mungkin konflik itu dapat terjadi? Tidak
hanya konflik, bahkan lebih jauh lagi, suasana saling mengancam diantara yang
bersiteru pun, terjadi.Buruh mengancam akan mogok kerja dengan harapan agar
perusahaan mengalami kerugian dan akhirnya koleps, pengusaha juga mengancam
akan menutup perusahaannya karena selain tidak mau "pusing", juga
menebar "kekhawatiran" kepada pemerintah (meningkatnya angka
pengangguran).
Begitu pula pemerintah, ikut latah menebar ancaman yaitu
berupa penurunan investasi/investor yang akhirnya akan memperlambat dan bahkan
gagal meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta menghadapkan wajah buruh dengan
peraturan/kebijakan yang ada.
Jika diamati, maka dapat kita lihat bahwa sumber konflik
perburuhan itu lebih terletak pada persoalan: 1) kepentingan, 2) persepsi, dan
3) ego masing-masing pihak yang bertikai (buruh, pengusaha, dan pemerintah).
Manakala ke-3 sumber konflik ini diajukan, maka akan secara gampang kita
mencari solusinya yaitu duduk bareng dan berdialog, walaupun cara-cara demikian
ini telah lama dilakukan dengan tanpa sebuah hasil yang memadai untuk
kesejahteraan si buruh tadi. Mengapa? Sebab, masing-masing pihak membawa
kepentingan masing-masing dengan tanpa melihat kepentingan pihak lain di saat
mereka melakukan dialog terhadap peningkatan kesejahteraan buruh.
Buruh tidak melihat kepentingan pengusaha dan pemerintah,
pengusaha tidak melihat kepentingan buruh dan pemerintah, begitu pula
pemerintah, yang kurang melihat kepentingan buruh dan pengusaha. Jadi, bisa
kita bayangkan apa hasilnya jika masing-masing peserta dialog, bertahan dengan
kepentingannya masing-masing.
Di sisi lain, selain persoalan kepentingan, persoalan
persepsi juga ikut menjadi sumber konflik. Kata "sejahtera", pada
dasarnya tidak memiliki standar baku yang dapat diberlakukan kapan saja, dimana
saja, dan oleh siapa saja. Artinya, relatifitas adalah nilai penting yang harus
dipahami bersama oleh pihak yang bertikai. Alangkah na’ifnya jika pengusaha dan
pemerintah menganggap kalau buruh telah sejahtera hidupnya dengan mengacu pada
diri mereka di saat mereka harus merangkak untuk berusaha (pandangan pengusaha)
dan di saat mereka harus berjuang untuk bisa masuk bekerja di lingkungan
pemerintah. Dan sangat tidak pantas pula jika si buruh melihat ukuran
kesejahteraan si pengusaha dan pemerintah berdasar pada diri mereka sendiri.
Padahal, apa yang dilihat si buruh, belum tentu kenyataannya adalah sama.
Ke-2 unsur tersebut di atas (kepentingan dan persepsi), akan
menjadi sponsor atau penggerak masing-masing pihak untuk mengedepankan egonya
masing-masing. Dapat kita bayangkan, apalah jadinya jika masing-masing pihak
duduk bersama, berdialog dengan membawa ego masing-masing? Pastilah, hasil
dialog itu, jauh dari yang diharapkan. Akhirnya, pihak yang tidak memiliki
"bergainning" atau kekuatan baik yang bersumber pada "Uang"
maupun "kekuasaan" adalah pihak yang selalu mengalah. Inilah kondisi
yang secara konsisten terus menerus terjadi di sekitar masalah perburuhan kita.
Solusi Alternatif
Menurut buruh, persoalan kesejahteraan akan dapat ditangani
jika penghasilan mereka meningkat,baik secara langsung (peningkatan upah yang
diterima) maupun tidak langsung (perubahan status, dari buruh kontrak menjadi
buruh tetap). Tetapi, buruh selalu lupa kalau peningkatan penghasilan itu akan
berdampak serius bagi si buruh itu sendiri. Bukankah setiap kenaikan upah akan
menaikkan ongkos produksi?
Kalau seluruh buruh menuntut kenaikan upah, maka seluruh
perusahaan akan mengalami peningkatan ongkos produksinya yang pada gilirannya
akan mendongkrak harga-harga komoditi di pasar dimana komoditi-komoditi itu
juga dikonsumsi oleh si buruh. Walhasil, peningkatan Rp 1,- upah yang diterima
buruh, maka buruh harus membayar/mengeluarkan penghasilannya sebesar Rp 1,5
untuk kebutuhannya. Contoh terbaik dari fenomena ini ada pada kondisi
peningkatan gaji PNS. Setiap gaji PNS dinaikkan, maka harga-harga di pasar juga
ikut naik dan bahkan kenaikan harga-harga itu, melebihi kenaikan gaji.
Akhirnya, si PNS itu malah terjadi menurun kesejahteraannya. Hal ini terbukti
dari masih banyaknya PNS yang keluar kantor di jam-jam kerjanya untuk mencari
penghasilan tambahan.
Ujung-ujungnya, kinerja PNS tetap saja seperti sebelum gaji
mereka dinaikkan. Begitu pula dengan kondisi buruh tadi. Kenaikan upah buruh
akan menurunkan daya beli si buruh itu sendiri.
Penjelasan di atas memberi gambaran bahwa buruh termasuk
pihak yang sangat membutuhkan pencerahan atas psikologi cara berkonsumsi.
Sebab, jika si buruh sadar akan keterbatasan dana yang
dimiliki, maka peningkatan penghasilan itu akan dapat menaikkan kesejahteraan
mereka manakala mereka punya pola konsumsi yang konstan sehingga sisa dana yang
dimiliki sebagai akibat peningkatan penghasilan, dapat mereka simpan.
Untuk itu, maka diperlukan suatu mekanisme pencerahan cara
berkonsumsi yang inten dilakukan buat si buruh agar buruh lebih rasional dalam
berkonsumsi. Mekanisme pencerahan ini, dapat dimotori oleh pemerintah baik
pusat maupun daerah. Jadi, kenaikan upah itu, harus diikuti juga oleh
pencerahan pola konsumsi buruh. Ini salah satu bentuk skema solusi peningkatan
kesejahteraan buruh.
Alternatif lainnya adalah melalui peningkatan
kemahiran/keahlian si buruh. Selama ini, keahlian yang dimiliki buruh adalah
relatif konstan, itu-itu saja. Sangat jarang ada buruh yang memiliki keahlian
lebih di saat mereka berstatus buruh. Keahlian tersebut akan sangat memberikan
peluang bagi si buruh untuk meningkatkan kesejahteraannya. Keahlian si buruh
itu dapat dijalankan oleh si buruh di luar jam kerja buruh.
Lantas pertanyaannya adalah pihak manakah yang memfasilitasi
buruh untuk mendapatkan keahlian tambahan? Jawabannya adalah pengusaha dan
pemerintah.
Dana yang diperlukan untuk mendapatkan keahlian itu, bisa
berasal dari CSR perusahaan atau dari biaya operasi yang diakui oleh pajak
sebagai biaya serta dana yang disediakan oleh pemerintah.
Selain solusi di atas, alternatif lainnya adalah
meningkatkan pendidikan anak-anak buruh. Masalah pendidikan ini merupakan hal
yang selalu membebani buruh dan menjadi logis jika buruh menuntut kenaikan
upah. Artinya, manakala buruh telah melihat anak-anak mereka bersekolah,
walaupun kondisi ekonomi si buruh adalah lemah, mereka cenderung tidak menuntut
kenaikan upah. Selain perusahaan berkontribusi dalam menghidupkan kecerdasan
bangsa, perusahaan juga mendapatkan manfaat dalam hal penyediaan tenaga kerja
yang berkualitas lewat pendidikan yang dibangun perusahaan. Untuk mendirikan
lembaga pendidikan itu, banyak mekanisme yang dapat dipilih.
Salah satunya adalah melalui koordinasi dengan pemerintah
atau beberapa perusahaan dapat bergabung sebagai pihak pendiri sekolah.
Perusahaan itu dapat sebagai pendiri yayasan pendidikan maupun sebagai donatur
tetap. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah dapat berperan sebagai koordinator,
pengelola maupun pengawas manajemen sekolah. Sekolah itu diperuntukkan
khususnya bagi putra/i buruh dari perusahaan yang mendirikan sekolah tadi.
Artinya, anak-anak buruh tersebut dapat bersekolah secara gratis atau membayar
seminimal mungkin sedangkan anak-anak lain, membayar secara utuh.
Semua mekanisme operasional sekolah dapat diwujudkan melalui
bantuan manajemen sekolah yang disiapkan oleh pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga dapat memberi jaminan bahwa
semua biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan, diakui sebagai biaya pengurang
pajak. Inilah bentuk-bentuk alternatif solusi yang memungkinkan untuk dikaji
kelayakan.***
Penulis adalah Dosen FE Unimed dan Peneliti pada Sumatera
Economic and Public Policies Study (SEPPsS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar