Senin, 28 Januari 2013

Buruh, Mencari Solusi Kesejahteraan


Tidak saja pada may day (Hari buruh), buruh dapat mengekspresikan harapan hidupnya di hari-hari lain. Harapan itu tidak lain adalah masalah peningkatan kesejahteraan baik melalui kenaikan penghasilan maupun lewat perubahan status dari pekerja kontrak menjadi pekerja tetap. Persoalannya adalah harapan itu, cenderung berbeda dengan harapan si pemberi kerja dan belum terakomudirnya harapan tersebut di dalam pola pikir/mindset pemerintah sebagai pembuat kebijakan hubungan antara si pekerja dan pemberi kerja.
Kenyataan ini, telah berlangsung sejak lama sehingga dianggap sebagai sesuatu yang "lazim" dan tidak membutuhkan suatu solusi yang harus dicari dan dikelola secara inten oleh pihak yang memiliki kompetensi dan kapasitas untuk melahirkan suatu solusi. Bahkan, di masing-masing daerah yang telah memiliki sebuah lembaga yang mengkhususkan diri untuk mengurusi masalah pengupahan buruh pun, tidak mampu mewujudkan harapan buruh tersebut.
Jika demikian adanya, maka timbul pertanyaan di benak kita. Apa sebenarnya yang terjadi meskipun antara buruh, pengusaha, dan pemerintah sama-sama menginginkan agar buruh memiliki kehidupan yang layak? Dimana, akhirnya buruh dapat bekerja secara tenang dan dapat pula meningkatkan kinerjanya seperti yang diharapkan oleh pengusaha dan pemerintah.

Sumber Konflik Perburuhan
Dasarnya, persoalan buruh itu sama seperti persoalan-persoalan lainnya yaitu tentang kesejahteraan. Artinya, tidak hanya si buruh yang mempersoalkan masalah tersebut. Tetapi, seluruh komponen masyarakat termasuk usahawan, mereka yang berprofesi sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil), dan lain sebagainya, juga bicara tentang kesejahteraan. Kalaulah seperti ini persoalannya maka apakah mungkin konflik itu dapat terjadi? Tidak hanya konflik, bahkan lebih jauh lagi, suasana saling mengancam diantara yang bersiteru pun, terjadi.Buruh mengancam akan mogok kerja dengan harapan agar perusahaan mengalami kerugian dan akhirnya koleps, pengusaha juga mengancam akan menutup perusahaannya karena selain tidak mau "pusing", juga menebar "kekhawatiran" kepada pemerintah (meningkatnya angka pengangguran).
Begitu pula pemerintah, ikut latah menebar ancaman yaitu berupa penurunan investasi/investor yang akhirnya akan memperlambat dan bahkan gagal meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta menghadapkan wajah buruh dengan peraturan/kebijakan yang ada.
Jika diamati, maka dapat kita lihat bahwa sumber konflik perburuhan itu lebih terletak pada persoalan: 1) kepentingan, 2) persepsi, dan 3) ego masing-masing pihak yang bertikai (buruh, pengusaha, dan pemerintah). Manakala ke-3 sumber konflik ini diajukan, maka akan secara gampang kita mencari solusinya yaitu duduk bareng dan berdialog, walaupun cara-cara demikian ini telah lama dilakukan dengan tanpa sebuah hasil yang memadai untuk kesejahteraan si buruh tadi. Mengapa? Sebab, masing-masing pihak membawa kepentingan masing-masing dengan tanpa melihat kepentingan pihak lain di saat mereka melakukan dialog terhadap peningkatan kesejahteraan buruh.
Buruh tidak melihat kepentingan pengusaha dan pemerintah, pengusaha tidak melihat kepentingan buruh dan pemerintah, begitu pula pemerintah, yang kurang melihat kepentingan buruh dan pengusaha. Jadi, bisa kita bayangkan apa hasilnya jika masing-masing peserta dialog, bertahan dengan kepentingannya masing-masing.
Di sisi lain, selain persoalan kepentingan, persoalan persepsi juga ikut menjadi sumber konflik. Kata "sejahtera", pada dasarnya tidak memiliki standar baku yang dapat diberlakukan kapan saja, dimana saja, dan oleh siapa saja. Artinya, relatifitas adalah nilai penting yang harus dipahami bersama oleh pihak yang bertikai. Alangkah na’ifnya jika pengusaha dan pemerintah menganggap kalau buruh telah sejahtera hidupnya dengan mengacu pada diri mereka di saat mereka harus merangkak untuk berusaha (pandangan pengusaha) dan di saat mereka harus berjuang untuk bisa masuk bekerja di lingkungan pemerintah. Dan sangat tidak pantas pula jika si buruh melihat ukuran kesejahteraan si pengusaha dan pemerintah berdasar pada diri mereka sendiri. Padahal, apa yang dilihat si buruh, belum tentu kenyataannya adalah sama.
Ke-2 unsur tersebut di atas (kepentingan dan persepsi), akan menjadi sponsor atau penggerak masing-masing pihak untuk mengedepankan egonya masing-masing. Dapat kita bayangkan, apalah jadinya jika masing-masing pihak duduk bersama, berdialog dengan membawa ego masing-masing? Pastilah, hasil dialog itu, jauh dari yang diharapkan. Akhirnya, pihak yang tidak memiliki "bergainning" atau kekuatan baik yang bersumber pada "Uang" maupun "kekuasaan" adalah pihak yang selalu mengalah. Inilah kondisi yang secara konsisten terus menerus terjadi di sekitar masalah perburuhan kita.

Solusi Alternatif
Menurut buruh, persoalan kesejahteraan akan dapat ditangani jika penghasilan mereka meningkat,baik secara langsung (peningkatan upah yang diterima) maupun tidak langsung (perubahan status, dari buruh kontrak menjadi buruh tetap). Tetapi, buruh selalu lupa kalau peningkatan penghasilan itu akan berdampak serius bagi si buruh itu sendiri. Bukankah setiap kenaikan upah akan menaikkan ongkos produksi?
Kalau seluruh buruh menuntut kenaikan upah, maka seluruh perusahaan akan mengalami peningkatan ongkos produksinya yang pada gilirannya akan mendongkrak harga-harga komoditi di pasar dimana komoditi-komoditi itu juga dikonsumsi oleh si buruh. Walhasil, peningkatan Rp 1,- upah yang diterima buruh, maka buruh harus membayar/mengeluarkan penghasilannya sebesar Rp 1,5 untuk kebutuhannya. Contoh terbaik dari fenomena ini ada pada kondisi peningkatan gaji PNS. Setiap gaji PNS dinaikkan, maka harga-harga di pasar juga ikut naik dan bahkan kenaikan harga-harga itu, melebihi kenaikan gaji. Akhirnya, si PNS itu malah terjadi menurun kesejahteraannya. Hal ini terbukti dari masih banyaknya PNS yang keluar kantor di jam-jam kerjanya untuk mencari penghasilan tambahan.
Ujung-ujungnya, kinerja PNS tetap saja seperti sebelum gaji mereka dinaikkan. Begitu pula dengan kondisi buruh tadi. Kenaikan upah buruh akan menurunkan daya beli si buruh itu sendiri.
Penjelasan di atas memberi gambaran bahwa buruh termasuk pihak yang sangat membutuhkan pencerahan atas psikologi cara berkonsumsi.
Sebab, jika si buruh sadar akan keterbatasan dana yang dimiliki, maka peningkatan penghasilan itu akan dapat menaikkan kesejahteraan mereka manakala mereka punya pola konsumsi yang konstan sehingga sisa dana yang dimiliki sebagai akibat peningkatan penghasilan, dapat mereka simpan.
Untuk itu, maka diperlukan suatu mekanisme pencerahan cara berkonsumsi yang inten dilakukan buat si buruh agar buruh lebih rasional dalam berkonsumsi. Mekanisme pencerahan ini, dapat dimotori oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Jadi, kenaikan upah itu, harus diikuti juga oleh pencerahan pola konsumsi buruh. Ini salah satu bentuk skema solusi peningkatan kesejahteraan buruh.
Alternatif lainnya adalah melalui peningkatan kemahiran/keahlian si buruh. Selama ini, keahlian yang dimiliki buruh adalah relatif konstan, itu-itu saja. Sangat jarang ada buruh yang memiliki keahlian lebih di saat mereka berstatus buruh. Keahlian tersebut akan sangat memberikan peluang bagi si buruh untuk meningkatkan kesejahteraannya. Keahlian si buruh itu dapat dijalankan oleh si buruh di luar jam kerja buruh.
Lantas pertanyaannya adalah pihak manakah yang memfasilitasi buruh untuk mendapatkan keahlian tambahan? Jawabannya adalah pengusaha dan pemerintah.
Dana yang diperlukan untuk mendapatkan keahlian itu, bisa berasal dari CSR perusahaan atau dari biaya operasi yang diakui oleh pajak sebagai biaya serta dana yang disediakan oleh pemerintah.
Selain solusi di atas, alternatif lainnya adalah meningkatkan pendidikan anak-anak buruh. Masalah pendidikan ini merupakan hal yang selalu membebani buruh dan menjadi logis jika buruh menuntut kenaikan upah. Artinya, manakala buruh telah melihat anak-anak mereka bersekolah, walaupun kondisi ekonomi si buruh adalah lemah, mereka cenderung tidak menuntut kenaikan upah. Selain perusahaan berkontribusi dalam menghidupkan kecerdasan bangsa, perusahaan juga mendapatkan manfaat dalam hal penyediaan tenaga kerja yang berkualitas lewat pendidikan yang dibangun perusahaan. Untuk mendirikan lembaga pendidikan itu, banyak mekanisme yang dapat dipilih.
Salah satunya adalah melalui koordinasi dengan pemerintah atau beberapa perusahaan dapat bergabung sebagai pihak pendiri sekolah. Perusahaan itu dapat sebagai pendiri yayasan pendidikan maupun sebagai donatur tetap. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah dapat berperan sebagai koordinator, pengelola maupun pengawas manajemen sekolah. Sekolah itu diperuntukkan khususnya bagi putra/i buruh dari perusahaan yang mendirikan sekolah tadi. Artinya, anak-anak buruh tersebut dapat bersekolah secara gratis atau membayar seminimal mungkin sedangkan anak-anak lain, membayar secara utuh.
Semua mekanisme operasional sekolah dapat diwujudkan melalui bantuan manajemen sekolah yang disiapkan oleh pemerintah.

Selain itu, pemerintah juga dapat memberi jaminan bahwa semua biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan, diakui sebagai biaya pengurang pajak. Inilah bentuk-bentuk alternatif solusi yang memungkinkan untuk dikaji kelayakan.***

Penulis adalah Dosen FE Unimed dan Peneliti pada Sumatera Economic and Public Policies Study (SEPPsS)


http://www.analisadaily.com/news/read/2012/10/15/81116/buruh_mencari_solusi_kesejahteraan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar